Depresi Massal, Bukti Bahwa Aturan Buatan Manusia Telah Gagal? - Tinta Media

Rabu, 23 Februari 2022

Depresi Massal, Bukti Bahwa Aturan Buatan Manusia Telah Gagal?

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1OFUVZTCmXC-E8-IyeaonAL-ORvXuAwUZ

Tinta Media - Geli sekaligus miris, itulah yang saya rasakan saat membaca spanduk dengan tulisan 'Selamatkan masyarakat dari Jiwa Kurang Piknik'. Tulisan itu ada di bagian belakang bus pariwisata yang kebetulan melintas di sebelah saya.

Saya katakan geli karena nyatanya kalimat itu mampu membuat saya senyum-senyum sendiri. Entah siapa yang membuat tulisan itu. Mungkin saja rombongan yang menyewa bus, atau bisa juga pemilik armada tersebut. Andai itu rombongan penyewa, berarti kondisi masyarakat saat ini begitu mengenaskan sampai dikatakan kurang piknik. Andai itu pemilik armada, tentu ia orang yang sangat cerdik karena mampu memanfaatkan kondisi psikologis masyarakat, terutama anak-anak muda yang katanya banyak yang mengalami depresi akibat berbagai tekanan. 

Cukup masuk aka sebenarnya, karena secara realita, masyarakat memang sedang dalam kondisi yang jauh dari kata baik-baik saja. Intinya, banyak masyarakat yang mengalami depresi secara komunal, terutama saat terjadi pandemi  seperti saat ini.

Emak-emak sedang stres gara-gara harga barang, terutama kebutuhan pokok semakin membubung, sementara pemasukan cenderung menurun, bahkan tidak sedikit yang minus.

Bapak-bapak tak kalah pusing karena lapangan kerja semakin menyempit, sementara yang butuh pekerjaan banyak.

Anak-anak, apalagi. Tugas sekolah yang tidak pernah habis dan dirasa membebani, membuat mereka banyak yang mengalami depresi. Belum lagi PTM yang maju mundur cantik akibat Omicron yang semakin mengganas.

Ya, sampai saat ini pandemi memang belum bisa ditangani. Ini semua menjadi beban berat yang seolah tidak pernah berujung.

Belum lagi tingkah pola pembesar dan wakil rakyat yang seolah berada di dunia tersendiri, dunia yang sulit di tembus, apalagi dijangkau oleh rakyat. Antara rakyat dan penguasa seolah dua kubu terpisah. Masing-masing memiliki pemikiran tersendiri. 

Contohnya saja, satu pihak menghendaki harga barang kebutuhan turun, satunya justru menaikkan. Yang satu ingin layanan kesehatan mudah dan murah, satunya malah menaikkan. Yang satu ingin mendapatkan pekerjaan yang layak, yang lainnya malah penghapus lapangan pekerjaan. Yang satu sibuk bertahan hidup, satunya sibuk  membangun istana baru yang butuh dana ratusan trilyun, dan masih banyak lagi contoh yang menunjukkan bahwa penguasa dan rakyat tidak pernah sejalan.

Jadi, wajar kalau masyarakat pada stress dan banyak yang depresi karena harus menanggung beban dan tekanan dalam menjalani kehidupan. Apalagi, selama berbulan-bulan masyarakat terkungkung di dalam rumah akibat ganasnya makhluk kecil yang tak kasat mata. 

Mungkin, dengan sedikit rekreasi atau piknik, masyarakat bisa melepas sejenak beban penderitaan. Benarkah demikian?

Bisa saja sebenarnya. Namun, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk bisa piknik. Selain karena keterbatasan biaya, waktu mereka yang sangat berharga untuk mengais sedikit rezeki akan sayang kalau sekadar dibuat hura-hura.

Lagipula, belum tentu setelah piknik semua masalah akan musnah. Tentu saja, akar masalahnya memang bukan di sana.

Ibarat borok bernanah yang ada di kaki seseorang, tidak akan sembuh total kalau sekadar ditutup perban. Nanti kalau kambuh lagi, akan ditutup dengan perban yang baru lagi. Kalau seperti itu, bukannya sembuh, luka itu bisa jadi semakin parah.

Harusnya perban itu dibuka, lukanya dibersihkan dulu, kemudian diberi obat. Barulah diberi perban yang baru.

Nah, sama dengan kondisi masyarakat. Rekreasi atau piknik hanyalah pengalihan terhadap masalah yang sebenarnya. Cara ini tidak bisa menghilangkan persoalan masyarakat secara permanen.

Untuk menyelesaikan karut-marut akut yang ada di tengah masyarakat, haruslah dicari dan diurai dulu akar persoalannya, baru diberi solusi yang tepat sesuai dengan akar masalah tersebut.

Kalau mau jujur, biang kerok dari semua persoalan ini sebenarnya ada pada manusia sendiri. Manusia itu lemah, penuh dengan keterbatasan. Tapi dengan keterbatasan itu, manusia justru ingin menyelesaikan masalah di seluruh aspek kehidupan dengan caranya sendiri. Manusia membuat aturan sendiri dengan prasangka bahwa aturan itulah yang terbaik.

Padahal, ada banyak hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar dan akal manusia. Ada banyak hal yang tidak mampu ditangkap oleh panca indera manusia. Kalau saat ini manusia ngotot ingin diatur dengan aturan buatan manusia, ya wajar kalau banyak ketimpangan dan kekacauan yang terjadi di mana-mana, di seluruh aspek kehidupan.

Sudahlah, kita akui saja kalau diri kita ini memang lemah dan terbatas. Kita serahkan saja aturan itu pada Yang Mahahebat tanpa cela. Dialah Allah Swt. Tuhan yang menciptakan manusia. Tentu Dia lebih tahu tentang seluk-beluk manusia dan semua yang diciptakan-Nya.

Mari kita bersandar secara totalitas hanya kepada-Nya. Caranya, mari kita mengikhlaskan diri untuk diatur dengan aturan yang berasal dari-Nya. Dengan aturan yang sempurna, tentu kehidupan masyarakat akan menjadi sejahtera, bahagia dan berkah. Dengan begitu, tidak ada lagi depresi masyarakat secara komunal. 

Kita tidak akan pernah tahu, aturan dari Al-Khaliq itu betul-betul jitu atau tidak, kalau belum mempraktikkannya. Meski sebenarnya aturan itu sudah pernah terbukti selama ribuan tahun mampu membuat masyarakat di dunia sejahtera.

Jadi, tunggu apa lagi. Mari segera beralih dari sistem atau aturan hidup yang dibuat manusia ini ke sistem atau aturan hidup dari Allah Swt.

Senyampang masih di bulan Rajab, salah satu bulan suci yang dimuliakan. Kita tahu, bulan Rajab adalah bulan penuh perjuangan. Amalan baik kita akan dilipatgandakan pahalanya. Jangan sampai kita justru menjadi pihak yang menentang penerapan aturan-Nya. Ingatlah, amalan buruk kita, sekecil apa pun juga akan dilipatgandakan dosanya. Nauzubillah.

Karena itu, mari kita bergegas agar predikat sebagai' 'khairu ummah' atau umat yang terbaik segera terwujud.

Caranya tidak sulit. Pertama, mari kita menggembleng diri kita dengan ilmu dan pengetahuan tentang Islam, agar kita bisa tahu mana yang benar dan mana yang salah sehingga kita bisa menjalani kehidupan ini seusai dengan standar tersebut. Kita ikuti pembinaan secara istikamah agar ilmu yang kita dapatkan tidak setengah-setengah. 

Hal ini seperti yang dilakukan oleh para sahabat saat dibina oleh Rasulullah di rumah Arqam bin Al Arqam.

Tidak cukup dengan itu. Kita tidak ingin pintar sendiri, kan? Karena itu, kita harus mengajarkan orang-orang di sekitar kita untuk memiliki pemahaman yang sama sehingga mereka juga melakukan hal yang sama, yaitu belajar Islam secara kaffah, kemudian mengajarkan kepada yang lainnya. 

Selain itu, kita juga perlu menyampaikan kebenaran ini di tengah masyarakat, di seluruh lapisan, sehingga semakin banyak orang yang memahami pentingnya aturan dari Al-Khaliq ini dan mau berjuang bersama-sama untuk menerapkannya secara nyata.

Tak kenal maka tak sayang, begitulah bunyi pepatah yang sangat masyhur. Kalau masyarakat sudah mengenal dan memahami seperti apa syariat Islam yang sesungguhnya, maka dengan sendirinya masyarakat akan menginginkan penerapannya berdasarkan kesadarannya, tanpa ada faktor atau tindakan kekerasan sedikit pun. Semua dilakukan dengan damai, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saat menegakkan daulah di Madinah. 
Wallahu a'lam


Oleh: Ida Royanti 
Founder Komunitas Aktif Menulis
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :