Tinta Media - Ekonom Senior Faisal Basri, M.A. menilai bahwa membangun ibu kota baru (IKN) di era Jokowi yang menunjukkan kecenderungan pertumbuhan ekonomi melambat seperti jauh panggang dari api.
“Korupsinya memburuk, demokrasi memburuk, ketimpangan memburuk. Membangun ibu kota solusinya jauh panggang dari api. Ditambah lagi pertumbuhan ekonomi kita terus menunjukkan kecenderungan melambat. Jadi kita membangun gitu di era Pak Jokowi, hasilnya yang pasti pertumbuhannya melambat bukan mengakselerasi,” tuturnya dalam Live FGD 43#PKAD: IKN, Kenapa Harus Ditolak? Sabtu (29/1/2022) dikanal Youtube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Ia menyatakan pendapatan nasional per kapita merosot dan kembali turun kelas dari negara berpendapatan menengah-atas, terjadi hanya satu tahun di 2019 menjadi negara berpendapatan menengah-bawah di Tahun 2020. “Dan kecepatan pemulihan ekonomi pun relatif lambat dibandingkan negara tetangga,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa transformasi ekonomi untuk menjadi negara maju tersendat-sendat.
“Ekspor didominasi oleh komoditas primer, yaitu batubara, sawit dan smelter nikel. Peranan industri manufaktur merosot dan turun sebelum mencapai titik optimalisasi biasa disebut gejala dini deindustrialisasi. Pekerja informal lebih besar dari pekerja formal, tentu saja ini multi off job jadi jelek,” ungkapnya.
“Penduduk insecure (miskin ekstrem, miskin, nyaris miskin, dan rentan miskin) masih lebih dari separuh jumlah penduduk. Mau diajak terbang ke planet lain dengan nama planet ibu kota baru,” tambahnya.
Sementara itu, ia menegaskan bahwa kemampuan kita dari pendapatan negara, dari nisbah pajak (tax ratio) turun terus mencapai titik terendah sepanjang sejarah dan hanya satu digit, serta di urutan ke 127 dari 140 negara. Sedangkan belanja pemerintah terus meningkat sehingga defisit APBN melebar. “Jadi kocek pemerintah cekak sementara belanjanya terus meningkat. Kalau pemerintah sudah menunjukkan kerja keras, pendapatannya naik, sedikit bisa kontribusi untuk ibu kota baru bisa dipahami. Nah ini masih jeblok begini. Memang 2021 penerimaan pajak kita naik bahkan melebihi target tapi karena targetnya rendah,” tuturnya.
Masalah dan Ancaman
Selain pertumbuhan ekonomi yang melambat, menurutnya, permasalahan lain yakni ketidakpastian wabah Covid-19 masih cukup tinggi. Varian Omicron muncul dan berpotensi menimbulkan gelombang ketiga sehingga membutuhkan kesiapan pendanaan ekstra untuk melindungi rakyat dan pelaku ekonomi. “Bukannya menjadi tambahan peluang bisnis bagi para pengusaha tertentu dengan memiliki laboratorium, diniatkan untuk jualan vaksin dan macam-macam,” kritiknya.
“Tantangan lainnya adalah utang yang menggelembung dan lampu kuning sudah menyala. Tercermin dari defisit primary balance yang membengkak dan pembayaran bunga utang telah menyedot seperlima dari pengeluaran pemerintahan pusat. Di mana bayar bunga sudah tinggi,” ungkapnya.
Ia juga melihat ancaman nyata perubahan iklim yang berpotensi menimbulkan semakin sering terjadi bencana. “Selain itu, target pemerintah di Bappenas untuk menjadi negara maju di 2036 telah dimundurkan menjadi Tahun 2043 sehingga ancaman middle income trop semakin nyata. Ancaman learning loss dari anak-anak didik kita yang tidak memiliki fasilitas memadai untuk online,” ujarnya.
Ia pun menyatakan jantung perekonomian semakin lemah. “Jantung perekonomian semakin lemah tapi kita disuruh berlari cepat, yang namanya jantung itu sektor keuangan. Jantung itu menyedot darah dan memompakan kembali ke sekujur tubuh perekonomian. Dia semaput maka dia mangkrak,” katanya.
“Tak pelak lagi yang saya sampaikan tadi semua (segala tantangan dan ancaman) sangat nyata. Menuntut bangsa ini agar fokus dan menghimpun segala kekuatan dan sumber daya yang ada untuk menghadapi dan menyelesaikannya,” pungkasnya.[]Ageng Kartika