Tinta Media - Akibat salah kelola, Indonesia yang menjadi negara terbesar penghasil CPO tak mampu menyediakan minyak goreng dengan harga murah bagi masyarakat.
Mahalnya harga minyak goreng beberapa waktu lalu setelah pemerintah melepas harga minyak sesuai mekanisme pasar, mengakibatkan harga domestik minyak goreng hampir sama dengan harga internasional. Di samping itu, liberalisasi ekonomi membuat jutaan hektar lahan sawit dimonopoli oligarki. Monopoli ini mengakibatkan harga bisa dimainkan oleh para oligarki.
Saat harga CPO naik, pengusaha sawit lebih memilih ekspor dibanding memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Jadilah harga minyak dalam negeri meroket. Penetapan kebijakan satu harga Rp14.000 justru menimbulkan kelangkaan minyak di tengah masyarakat.
Kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation) yang ditujukan untuk memberikan jaminan stok bahan baku minyak goreng di dalam negeri juga bukan tanpa masalah. Kebijakan yang diharapkan agar harga minyak goreng lebih terjangkau bagi masyarakat luas, dalam implementasinya justru disalahartikan oleh para eksportir yang membuat resah petani sawit.
Seperti diketahui, mekanisme kebijakan DMO sebesar 20 persen atau kewajiban pasok ke dalam negeri berlaku wajib untuk seluruh eksportir yang menggunakan bahan baku CPO. Seluruh eksportir yang akan mengeskpor wajib memasok atau mengalokasikan 20 persen dari volume ekspornya dalam bentuk CPO dan RBD Palm Olein ke pasar domestik dengan harga Rp9.300/kg untuk CPO dan harga RBD Palm Olein Rp10.300 per kg.
Menteri Perdagangan menjelaskan bahwa eksportir harus mengalokasikan 20 persen dari volume ekspor CPO dan RBD Palm Olein dengan harga DPO kepada produsen minyak goreng untuk mencapai Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan.
Kebijakan ini meski tujuannya baik, dalam prakteknya tidak demikian. Selama frame yang membingkai cara berpikir pemangku kebijakan dan pelaku usaha masih menginduk pada cara berfikir ekonomi kapitalis yang hanya menekankan pada manfaat materi, maka frame berpikir seperti ini yang akan menjadi acuan dalam bertindak.
Manfaat materi akan mengalahkan kebijakan. Karena prinsip ekonomi kapitalis adalah modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya. Akhirnya kebijakan hanyalah tulisan di atas kertas yang realisasinya sering tidak ada.
Minyak goreng merupakan bagian dari kebutuhan pokok masyarakat. Seharusnya negara tidak boleh membiarkan terjadinya monopoli pengelolaan minyak goreng. Negara harus hadir agar kebutuhan masyarakat terhadap komoditas ini bisa terpenuhi dengan harga terjangkau.
Kehadiran negara bisa dalam bentuk kebijakan berikut:
Pertama, negara bisa mewajibkan Domestik Market Obligation (DMO) agar suplay domestik untuk produksi minyak goreng dapat meningkat serta dibebaskannya pajak penjualan pada produk minyak goreng.
Kedua, negara juga harus mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki potensi kartel dalam kenaikan harga minyak goreng, agar bisa dipastikan tidak ada permainan harga dari kalangan produsen.
Ketiga, negara tidak boleh mematok harga tertentu, karena pematokan harga justru akan menciptakan pasar gelap.
Keempat, negara harus turun tangan dalam mengatasi kenaikan harga yang membebani masyarakat. Sebab, ini bagian dari tanggung jawab negara dalam menjaga kemaslahatan mereka. Langkah ini bisa ditempuh, misalnya dengan membentuk BUMN yang bisa memproduksi dan menyediakan minyak goreng dengan harga terjangkau. Upaya ini bisa meningkatkan suplay dan memengaruhi harga sehingga harga minyak goreng murah dan terjangkau.
Pembentukan BUMN sangat dimungkinkan, sebab Indonesia adalah produsen utama palm oil yang menjadi bahan baku pembuatan minyak goreng.
Persoalannya, adakah political will dari negara untuk menjaga kemaslahatan rakyat? Di sistem sekuler ini seringkali negara bertekuk lutut pada kepentingan pengusaha.
Sudah saatnya kita berpikir untuk mencari sistem alternatif pengganti dari sistem ekonomi kapitalis sekuler, agar rakyat tidak selalu menjadi korban kebijakan.
Sistem tersebut adalah sistem Islam. Sistem yang di dalamnya terdapat gagasan tentang politik, ekonomi, yang bukan sekadar teori, tetapi secara empiris pernah diterapkan serta membawa kebaikan bagi masyarakat dan dunia.
Dalam sistem Islam, kebun sawit dari alih fungsi hutan yang jumlahnya jutaan hektar menjadi milik umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan pada rakyat.
Bila yang mengelola kebun sawit seluas tersebut adalah negara, maka negara bisa dengan mudah tetap menjual minyak goreng seperti biasa bahkan mungkin bisa lebih murah lagi. Ini karena harga jualnya tidak mengikuti harga pasar dunia, melainkan hanya berdasarkan modal plus keuntungan yang diinginkan, kecuali kalau negara mengekspor.
Kalau yang diekspor tentu saja mengikuti harga dunia, sehingga mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Akan tetapi, semua keuntungan itu juga akan dikembalikan lagi kepada rakyat dengan berbagai fasilitas publik. Hal ini karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit seluas itu merupakan milkiyah ammah (kemilikan umum), nyang haram dimiliki atau dikelola swasta apalagi asing.
Oleh: Irianti Aminatun
Sahabat Tinta Media