Ustaz M. Shiddiq Al Jawi Jelaskan Hukum Bercanda Menurut Islam - Tinta Media

Senin, 10 Januari 2022

Ustaz M. Shiddiq Al Jawi Jelaskan Hukum Bercanda Menurut Islam

Tinta Media - Menjawab pertanyaan tentang hukum bercanda (bergurau), Founder Institut Muamalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menyampaikan kebolehan selama bersih dari segala sesuatu yang dilarang agama Islam.

“Bercanda itu hukumnya adalah mubah. Hanya saja, canda yang diperbolehkan adalah yang bersih dari segala sesuatu yang dilarang dalam agama Islam, sebagaimana perkataan Imam Ibnu Hajar Al Asqalani,” tutur Ustaz Shiddiq kepada Tinta Media, Sabtu (8/1/2022).

Ia menjelaskan makna canda dalam bahasa Arab menurut Al Jailani yang mendefinisikan canda dengan berbicara secara ramah dan menciptakan kegembiraan terhadap orang lain. “Canda (gurauan) dalam bahasa Arab disebut mizaah atau mumaazahah. Al Jailani dalam Syarah Al Adabul Mufrod mendefinisikan canda adalah berbicara secara ramah dan menciptakan kegembiraan terhadap orang lain. (Ath Thahthawi, Senyum dan Tangis Rasulullah, hlm. 116),” jelasnya.

Ia juga mengambil pendapat Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar An Nawawiyyah halaman 279 yang menyatakan hukum bercanda adalah mubah bahkan bisa sunnah jika bertujuan merealisasikan kebaikan. “Hukum bercanda menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar An Nawawiyyah adalah mubah (diperbolehkan syariah). Bahkan dalam kitab tersebut Imam Nawawi mengatakan bercanda yang hukum asalnya mubah, dapat menjadi sunnah jika bertujuan untuk merealisasikan kebaikan, atau untuk menghibur  lawan bicara, atau untuk mencairkan suasana,” terangnya.
Selain itu, Ustad Siddiq juga menyampaikan pendapat  Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari Juz X, halaman 257 yang mengatakan candaan yang bersih dari segala yang dilarang dalam agama hukumnya mubah dan dapat menjadi mustahab (sunnah) jika bertepatan dengan suatu kemaslahatan. “Sejalan dengan pendapat Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, ’Candaan yang bersih dari segala yang dilarang dalam agama hukumnya mubah. Apabila bertepatan dengan suatu kemaslahatan seperti menghibur lawan bicara atau mencairkan suasana, maka hukumnya mustahab (sunnah)’,” terangnya lebih lanjut.

Dalil bolehnya bercanda juga terdapat pada hadis Nabi SAW riwayat Tirmidzi yang berbicara kebenaran meski dalam candaan. “Dalil bolehnya bercanda adalah hadits-hadits Nabi SAW. Di antaranya dari Abu Hurairah RA, bahwa para shahabat pernah bertanya kepada Nabi SAW, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anda telah mencandai kami.’ Nabi SAW menjawab, ‘Sesungguhnya tidaklah aku berbicara, kecuali yang benar’,” ungkapnya.

Ia juga mencontohkan hadits Nabi SAW riwayat Abu Dawud ketika ada seorang  laki-laki yang meminta tolong dinaikkan ke atas tunggangan. Beliau menjawab dengan nada canda akan menaikkannya di atas anak unta. Kemudian Beliau menjelaskan bahwa unta dewasa itu sebenarnya juga anak unta. “Dalil lainnya, Nabi SAW pernah menjawab pertanyaan dengan nada bercanda. Dari Anas bin Malik RA, bahwa suatu ketika ada seorang laki-laki datang menghadap Nabi SAW kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolong bawa aku (naik tunggangan).’ Nabi SAW menjawab dengan nada canda, ‘Kami akan menaikkan kamu di atas anak unta.’ Lelaki itu bertanya, ’Apa yang bisa aku perbuat dengan seekor anak unta?’ Nabi SAW menjawab, ‘Bukankah unta dewasa itu sebenarnya juga anak unta?’,” paparnya.
Tidak cukup itu, Ustad Siddiq juga menyampaikan sebuah hadis riwayat Tirmidzi, ketika Nabi SAW bercanda dengan seorang nenek tua yang tidak akan masuk surga dalam keadaan tua karena orang yang sudah tua di dunia akan menjadi muda lagi setelah masuk surga. “Dalil lainnya, Nabi SAW pernah bercanda dengan seorang nenek tua. Dari Al Hasan RA, bahwa pernah seorang nenek tua berkata kepada Nabi SAW, ‘Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Allah memasukkan aku ke dalam surga.’ Nabi SAW pun menjawab, ‘Wahai Ummu Fulan, surga itu tidak mungkin dimasuki oleh nenek tua.’ Nenek tua itu pun pergi sambil menangis. Nabi SAW pun bersabda kepada para shahabat, ‘Kabarilah dia bahwa surga tidaklah mungkin dimasuki oleh dia sedangkan dia dalam keadaan tua. Karena Allah Ta’ala berfirman (artinya), ‘Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.’ (QS Al Waqi’ah : 35-37),” jelasnya.
Namun, ia mengingatkan syarat-syarat atau batasan kebolehan bercanda yang ada dalam Al-Qur’an.
“Maka perlu diperhatikan syarat-syarat atau batasan-batasan kebolehan bercanda, antara lain tidak mengolok-olok atau mempermainkan ajaran Islam. (QS At Taubah: 65-66), tidak mengejek atau menyakiti perasaan orang lain. (QS Al Hujurat: 11), tidak mengandung kebohongan. (QS Al Ahzab: 70-71), tidak mengandung ghibah (menggunjing) orang lain. (QS Hujurat: 12), tidak mengandung kecabulan (rafats) seperti canda-canda yang porno. (QS Al Baqarah : 197) dan  tidak melampaui batas, yakni tidak melalaikan suatu kewajiban atau menjerumuskan kepada suatu keharaman. (Lihat ‘Aadil bin Muhammad Al ‘Abdul ‘Aal, Pemuda dan Canda, hlm. 38-44),” pungkasnya.[]Raras



Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :