Refleksi 2021, Pakar: Teknologi Indonesia Masih Gelap - Tinta Media

Minggu, 02 Januari 2022

Refleksi 2021, Pakar: Teknologi Indonesia Masih Gelap


Tinta Media — Dalam merefleksi teknologi di tahun 2021 dan proyeksi 2022, disimpulkan Indonesia masih gelap. “Kita ini sekarang masih dilorong yang gelap,” tutur Pakar Peradaban  Islam Prof. Dr. -Ing. H. Fahmi Amhar, dalam Live FGD #25 FDMB: Refleksi dan Prediksi Keumatan; Peluang dan Tantangan Peradaban Islam, Kamis (30/12/2021) di kanal YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.

Fahmi mengungkap hal-hal menarik yang terjadi sepanjang 2021.

Pertama, vaksinasi. Menurut Fahmi Indonesia dinilai berhasil menangani Covid-19 lewat dua pencapaian, vaksinasi dan prokes. Meski demikian, Ia menyayangkan Indonesia masih tergantung vaksin luar. “Persoalannya kita masih tergantung vaksin dari luar,” tukasnya.

Kedua, 4.0 start up. Fahmi menuturkan bahwa pemerintah menginisiasi program merah putih Fund, yaitu pendanaan khusus bagi start up Indonesia yang aspek secara keseluruhannya murni melibatkan pihak Indonesia. “Tapi kayaknya masih berat karena sudah skala global,” katanya.

Ketiga, kendaraan listrik. Indonesia terpilih menjadi tuan rumah pembangunan lokasi pabrik baterai kendaraan listrik pertama dan terbesar di Asia Tenggara. “Persoalannya inisiatif mobil listrik dari periset Indonesia kurang terlibat. Kita punya orang-orang yang ahli batre, ahli listrik, tapi mereka kurang terlibat, dianggap seperti tidak ada,” sesalnya.

Keempat, teknologi kebencanaan. Menurut Fahmi bencana masih terjadi, nyaris tanpa mitigasi. “Sebagian bahkan tanpa peringatan dini, walaupun teknologinya sudah tersedia. Alat mitigasinya sudah ada tapi tidak terawat, tidak siap saat dibutuhkan. Mitigasi bencana baru mengandalkan teknologi atau ilmu dunia, belum menempatkan secara proporsional ilmu manusia dan ilmu langit,” paparnya.

“Kalau ilmu manusia itu tentang bagaimana  memperkuat ketangguhan kita terhadap bencana, memasyaratkan budaya sadar bencana, bahkan mengarahkan agar politik dan ekonomi kita menjadikan penanggulangan bencana sebagai parameternya,” jelasnya.

Sedangkan ilmu langit, lanjut Fahmi, yaitu ilmu tentang iman dan takwa, bencana  apapun itu iradah Allah, untuk menguji manusia siapa yg lebih baik amalnya. “Itu tidak pernah disentuh,” tuturnya.

Kelima, James Webb Space Telescope (JWST). JWST adalah kelanjutan Hubble Space Telescope (HST) yang diluncurkan 1990. “HST dibangun 20 tahun, dengan 10.000 ilmuwan, dan anggaran US$ 2 milyar. Teleskop ini mengorbit 500 km dari bumi untuk mendapatkan gambar langit yang selalu jernih, bebas debu dan awan, serta aman dari getaran,” ungkapnya.

“Sayangnya tak ada ilmuwan Indonesia yang terlibat, padahal teknologi angkasa ini erat kaitannya dengan alutsista. Siapapun yang  menguasai teknologi ruang angkasa biasanya akan menguasai alat utama sistem senjata, kita masih sangat minim disini,” sesalnya.

Keenam, reposisi para teknokrat. Fahmi menilai suasana antusiasme terhadap teknologi dulu,  berbeda dengan sekarang. “Dulu teknologi itu kita antusias untuk menguasainya. Sekarang untuk menikmatinya.  Anak-anak muda yang usia 20 – 30 tahun itu sekarang untuk menikmati, kenapa karena untuk menguasai sudah kejauhan. Jadi dalam 25 tahun terakhir ini semakin jauh kita ketinggalan,” jelasnya.

Oleh sebab itu, ia berharap 2022, meskipun tidak cerah tapi tetap harus optimis. “Karena kita ingin menjadi khoiru ummah. Umat terbaik yang memiliki wibawa untuk ta’murûna bil ma’rûf wa tanhauna ‘an al munkar wa tu’minûna billahi,” ujarnya.

“Ini menjadi bekal kita. Kalau nenek moyang kita umat Islam itu pernah menjadi mercusuar peradaban, sedangkan Qur’an kita  sama, sunnah masih sama, kiblat kita sama dan Allah kita sama, mudah-mudahan umat ini  bisa bangkit  kembali,” pungkasnya. []Irianti Aminatun


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :