Prof. Suteki: Telah Berdiri Industri Hukum dengan Slogan ‘Negara Tidak Boleh Kalah’ - Tinta Media

Senin, 10 Januari 2022

Prof. Suteki: Telah Berdiri Industri Hukum dengan Slogan ‘Negara Tidak Boleh Kalah’

Tinta Media - Melihat sejumlah kasus hukum di Indonesia, Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum., mengatakan, telah berdiri industri hukum dengan slogan 'negara tidak boleh kalah'. 

"Telah berdiri industri hukum dengan slogan 'negara tidak boleh kalah' yang dalam praktik, diterapkan secara keliru," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (2/1/2022).

Menurutnya, slogan tersebut akan menjauhkan karakter negara yang benelovent (penuh kebajikan), negara pemurah yang justru membangun permusuhan antara pemerintah dengan rakyat. 

"Prinsip ini menjauhkan karakter negara benelovent, negara pemurah dan menghadap-hadapkan pemerintah dengan rakyat bahkan cenderung membangun relasi permusuhan antara keduanya," ungkapnya.

Padahal menurutnya, rakyat bukanlah musuh pemerintah. Namun, jika atmosfer politik dilakukan dengan slogan di atas, maka pemerintah akan bertindak otoriter hingga hukum pun menjadi represif. 

"Ketika atmosfer politik dituntut oleh slogan 'negara tidak boleh kalah' maka negara akan bertindak otoriter dan hukum akan cenderung dipakai sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaannya, sehingga hukum sangat represif," ungkapnya. 

Menurutnya, akan lebih represif jika berurusan dengan dugaan tindak pidana terorisme atau radikalisme. "Apalagi jika berurusan dengan dugaan adanya tindak pidana terorisme dan radikalisme sementara paradigma penegakannya sudah berubah dengan UU Terorisme 2018, berorientasi pada HAM," ungkapnya. 

Prof. Suteki mencontohkan fakta kasus yang menimpa HR5. "Ulama besar dengan pengikut jutaan saja dizalimi, apalagi rakyat biasa," katanya. 

Ia melanjutkan, sebagai negara besar yang ber-Pancasila, bagaimana mungkin penguasanya menzalimi warga negaranya sendiri. 

"Di tingkat kasasi, MA memotong pidana HR5 untuk kasus swab RS UMMI menjadi 2 tahun dari 4 tahun. Jadi, kalau ditambah pidana kasus Petamburan 8 bulan, maka pidana yang harus dijalani HR5 2 tahun 8 bulan untuk kasus yang terkesan 'remeh'," katanya. 

Ia pun mempertanyakan janji Kapolri untuk mengedepankan Restorative Justice. "Lalu, di mana janji Kapolri untuk mengedepankan Restorative Justice dengan slogan presisinya?" tanyanya. 

Menurutnya, prinsip 'negara tidak boleh kalah' akan menggiring kekuasaan ke arah constitutional dictatorship. 
"Dengan memosisikan negara c.q. pemerintah di atas rakyat maka hukum yang ada akan dikendalikan sebagai sarana represif kepada rakyat sekaligus melegitimasi semua tindakan diktator pemerintah," ungkapnya. 

Lanjutnya, akan terjadi otoritarianisme dimana hukum dijalankan guna melegalkan tindakan jahat pemerintah terhadap rakyatnya. 

"Ini yang kita sebut otoritarianisme. Hukum dijalankan untuk melegalkan tindakan jahat pemerintah terhadap rakyatnya," katanya. 

Ia pun menjelaskan, jika dibackup oleh polisi akan terjadi brutality enforcement. "Kalau misi itu dibackup oleh polisi, maka negara hukum itu akan menjadi police stateBrutality enforcement dapat terjadi, misalnya dalam penangkapan terduga teroris, kriminalisasi kotak amal serta pemaksaan vaksinasi," pungkasnya. [] Ikhty



Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :