Tinta Media - Rencana pindah Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur yang undang-undangnya telah disahkan DPR, dinilai Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) sebagai kebijakan yang tidak sensitif.
“Ini kan kebijakan yang tidak sensitif. Apa sih hubungan antara pemindahan ibu kota yang menelan biaya 500-600 triliun dengan usaha untuk memberantas kemiskinan,” paparnya dalam Diskusi Online: Ibu Kota Baru untuk Siapa? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (23/01/2022).
UIY menuturkan, ada 30 juta rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan yang untuk mendapatkan 10 ribu rupiah per orang sehari sebagaimana digariskan Bappenas itu tidak bisa.
“Angka putus sekolah yang masih cukup tinggi. Mereka hanya mencapai pendidikan 8 tahun. Artinya SMP saja enggak selesai. Kenapa? karena kesulitan biaya. Semestinya ada stimulus untuk bisa meningkatkan usia pendidikan mereka setidaknya sampai lulus SMA. Artinya 12 tahun. Ini kan baru 8 tahun kurang 4 tahun lagi,” jelasnya.
Ibarat ada istilah anak durhaka, pemimpin atau penguasa negeri ini, ia gambarkan sebagai orang tua yang durhaka. “Itu tak ubahnya seperti ini, ada orang tua punya anak banyak. Anaknya itu tidak semuanya sekolah. Ada yang kelaparan, ada yang punya masalah kesehatan segala macam, lalu dia bikin rumah mewah, dia beli mobil mewah,” tamsilnya.
“Kenapa tidak diarahkan ke sana? Celakanya ini didukung oleh wakil rakyat. Rakyatnya menderita kok wakilnya menyetujui sebuah proyek yang mendurhakai hak-hak rakyat,” ungkapnya.
UIY heran dan mempertanyakan sebenarnya wakil rakyat itu bekerja untuk siapa? “Kalau betul untuk rakyat, kenapa enggak memperhatikan penolakan yang sampai 60, 70 bahkan ada 80 %? Ini menunjukkan bahwa tidak ada sense of crisis tidak ada sense of urgency,” kesalnya.
UIY justru melihat permasalahan di Jakarta, semisal kepadatan penduduk, banjir maupun kemacetan, sudah lebih bagus dari sebelum-sebelumnya. “Bahkan sudah masuk sebagai salah satu kota dengan transportasi publik terbaik,” ungkapnya.
Kalaupun gagasan pindah ibu kota pernah terjadi di masa Bung Karno yang ingin memindahkan dari Jakarta ke Palangkaraya, menurut UIY, tidaklah cukup menjadi dasar harus pindah sekarang.
Ia juga menilai, isu pemindahan ibu kota negara (IKN) menghangat sepulang Presiden Jokowi dari Dubai awal November lalu dengan membawa komitmen investasi hingga Rp637 triliun. “Investor di sana mempertanyakan, apa landasan hukumnya untuk bisa ini (investasi aman)?” bebernya.
Sehingga, UIY menyimpulkan, lebih ke faktor bisnis saja yang menjadi dasar memindahkan IKN dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. “Jadi lebih faktor-faktor itu, faktor-faktor ekonomi, faktor-faktor bisnis,” tuturnya.
Oleh sebab itu, ia menganggap wajar jika banyak pihak yang menolak UU IKN ini. “(Bahkan) orang-orang seperti Prof. Azyumardi Azra yang biasanya sangat pro terhadap rezim, ini hari dia turun gunung juga untuk membangkitkan perlawanan terhadap keputusan ini,” tukasnya.
“Jadi saya kira publik harus disadarkan bahwa negeri kita ini makin hari makin jatuh kepelukan oligarki, baik oligarki politik maupun oligarki pemilik modal. Oligarki pemilik modal semata mata hanya mementingkan keuntungan. Oligarki politik semata mata untuk mendapatkan kekuasaan. Celakanya oligarki politik ada juga yang menjadi bagian dari oligarki pemilik modal. Sudah dapat kekuasaan dapat pula keuntungan,” jelasnya.
UIY menilai, negara ini sedang dibawa ke sana yang secara substansial bertentangan dengan falsafah yang sering didengung-dengungkan, keadilan sosial. “Di mana keadilan itu ketika keputusan-keputusan politik makin menjauh dari prinsip-prinsip keadilan, prinsip-prinsip yang semestinya harus diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Apalagi menyangkut suatu hal strategis pemindahan ibu kota,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun