Tinta Media - Adanya potensi intervensi asing dalam menyelesaikan krisis yang tengah melanda Kazakhstan patut diwaspadai. Yang sedang mengalami krisis memang Kazakhstan, namun negara-nagara besar seperti Rusia, Amerika Serikat (AS) dan Cina seolah berebut untuk menarik simpati Kazakhstan untuk memberikan solusi. Masing-masing punya kepentingan terhadap negeri yang dijuluki “Virgin Lands” tersebut.
Sebagai negara terluas dari pecahan Uni Soviet, Rusia tidak akan rela Kazakhstan lepas dari kendalinya dan jatuh ke negara lain. Dibentuknya Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) ditengarahi sebagai salah satu upaya untuk tetap bisa menancapkan pengaruhnya di wilayah Asia Tengah.
Amerika juga menpunyai kepentingan terhadap Kazakhstan. Sebagai negara yang berideologi kapitalisme, AS akan berusaha memperluas dan menancapkan pengaruhnya di seluruh dunia, termasuk kawasan Asia Tengah. Apalagi dalam Perang Dingin antara Uni Soviet dan AS, Amerika merasa sebagai pemenangnya. Tentu saja ia tidak ingin kalah dari Rusia yang notabene pecahan dari Uni Soviet.
Demikian juga dengan Cina. Secara geopolitik, Kazakhstan menjadi penghubung pasar Cina dengan wilayah Asia Selatan yang tergolong sangat menjanjikan. Ini menjadikan negeri itu sangat penting bagi perekonomiannya. Sehingga tidak mengherankan jika Cina pun memiliki kepentingan terhadap Kazakhstan.
Namun, seperti kata pepatah, Tidak Ada Makan Siang Gratis. Rekomendasi-rekomendasi yang berasal dari negara-negara tersebut tentu saja tidak akan diberikan secara cuma-cuma. Jika Kazakhstan mengambilnya bisa jadi yang terjadi justru akan membuatnya jatuh pada krisis lanjutan yang lebih mengerikan lagi.
Berebutnya negara-negara besar tersebut tidaklah mengherankan. Diketahui Kazakhstan merupakan produsen Uranium global tertinggi di dunia. Dua ladang minyak yang termasuk terbesar di dunia pun ada di sini. Belum lagi gas bumi dan bahan tambang lainnya. Berlimpahnya sumber daya alam yang sebagian besar belum tereksploitasi tentu saja sangat menggiurkan bagi negara lainnya.
Dan tentu saja jika pengelolaan sumber daya alam tersebut tidak diatur oleh Islam, bisa dipastikan rakyat Kazakhstan tidak akan dapat menikmatinya. Sebagaimana rezim yang saat ini berhasil ditumbangkan karena aksi protes kenaikan harga bahan baku gas cair, negara-negara tersebut akan menggunakan aturan selain Islam dalam mengatur negara termasuk dalam pengelolaan sumber daya alamnya.
Dan jika yang digunakan untuk mengatur perekonomian adalah sistem selain Islam, baik kapitalisme maupun komunisme, maka kriris akan terulang kembali. Bahkan bisa lebih parah lagi. Jika sebelumnya hasil kekayaan alam hanya dinikmati oleh Presiden Nursultan Nazarbayev berserta keluarga besar dan sekelompok pejabat yang royal kepadanya, maka hal yang sama pun akan terjadi. Hasil kekayaan alam itu hanya akan beralih kepada negara-negara asing atas nama investasi. Dan rakyat pun tinggal gigit jari.
Untuk itu, Kazakhstan hendaklah tidak terbuai dengan rayuan asing dan justru harus mewaspadainya. Cukuplah pengalaman selama tiga dekade dipimpin oleh pemerintah otoriter dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk tidak lagi menggunakan aturan selain dari Islam. Dan selayaknya, sebagai negara yang mayoritas muslim, Kazakhstan mengambil Islam sebagai solusi terhadap krisis yang sedang dihadapi. Dengan menerapkan Islam secara kaffah, Kazakhstan akan bebas dari krisis dan bisa menjadi negara kuat tanpa intervensi asing.[]
Oleh: Alfiah Mujahidah
Muslimah Pejuang Islam