Tinta Media - Pimpinan Ma’had Syaraful Haramain, KH. Hafidz Abdurrahman, MA. menjelaskan bahwa mencintai Allah butuh kausalitas. “Mencintai Allah membutuhkan kausalitas,” tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (22/01/2022).
Kyai Hafidz mengutip pendapat Imam al-Ghazali, yang menyebutkan cinta kepada zat, sebagai sarana yang bisa mengantarkan kepada cinta-Nya. “Murid mencintai gurunya, karena gurunya adalah orang yang membimbingnya mendapatkan ilmu. Dengan ilmu, dia bisa mengenal Allah, dan seluruh syariat-Nya. Mengetahui jalan ke surga. Karena dia bisa menapaki jalannya. Dia mencintai gurunya, karena telah berjasa dalam hidupnya. Cinta murid kepada gurunya ini adalah cinta karena Allah. Bukan karena yang lain,” jelasnya.
Namun menurutnya, berbeda ketika murid mencintai gurunya, karena guru telah mengajari muridnya ilmu. “Dengan ilmunya, dia menjadi hebat, terkenal dan mempunyai jabatan dan kedudukan. Maka, cinta yang kedua ini bukan cinta karena Allah. Bahkan cinta yang tercela. Cinta yang terlarang. Kata Imam al-Ghazali,” bebernya.
“Begitu juga guru yang mencintai muridnya, karena melalui muridnya, dia bisa mendapatkan maqam mulia di sisi Rabbnya. Dia berkhidmat, memberikan pendidikan terbaik. Sarana, prasarana, guru, kitab dan ilmu terbaik. Karena khidmat kepada Allah, dan syariat-Nya. Maka, cinta guru kepada muridnya ini pun merupakan cinta karena Allah,” terangnya.
Ia melanjutkan, begitu juga kaum Muslim yang mencintai guru, murid dan pesantrennya, karena di sanalah jalan kemuliaan Islam itu diukir, ditapaki dan didaki hingga sampai ke puncak, maka cinta mereka adalah cinta karena Allah.
“Itulah mengapa, setelah Khilafah Abbasiyah dihancurkan di Baghdad oleh Tatar, di Mesir dan kota-kota Islam lainnya, para ulama menyusun kekuatan dengan berbagai madrasah dan tsaqafahnya. Lahirlah ad-Dzahabi dengan karyanya. As-Subhi, dengan berbagai karya dan kiprahnya, hingga era Ibn Hajar dan as-Suyuthi,” jelasnya.
Ia menilai, khazanah kaum Muslim yang sudah dihancurkan melalui Perang Salib dan Serangan Tatar itu bisa dibukukan ulang, karena jasa ulama. Juga jasa para Muhsinin dan Waqifin yang peduli pada masa depan peradaban Islam.
“Semua itu karena cinta kepada Allah. Dengan mencintai ilmu, ulama, santri dan institusi pendidikan, pencetak ulama yang menjadi penjaga Islam yang amanah. Ulama pemimpin umat dan peradaban Islam pada zamannya,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun