Koordinator Invest: PLN Masuk Fase ‘Sakaratul Maut’ - Tinta Media

Senin, 10 Januari 2022

Koordinator Invest: PLN Masuk Fase ‘Sakaratul Maut’


Tinta Media - Koordinator Indonesian Valuation for Energy and Infrastructur (Invest) Ahmad Daryoko menilai bahwa PLN sudah memasuki fase sakaratul maut.

“Apabila kita analogikan sebagai kehidupan manusia, sepertinya PLN sudah memasuki fase sakaratul maut,” paparnya pada Tinta Media, Ahad (9/1/2022)

Menurutnya, penilaian itu didasarkan pada kejadian-kejadian terkait PLN. Mulai masalah batu bara, pencopotan Direktur Energi Primer karena kelangkaan batu bara, pembentukan sub holding,  PLN untung Rp 5,9 triliun tetapi tarip tetap akan naik di 2022 yang  menyimpang dari peran PSO, hutang mencapai Rp 649 triliun tetapi PLN tetap bisa aquisisi "captive power" dan lain lain, menunjukkan adanya ritme naik turun performance PLN serta gejolak yang ada pada perusahaan listrik plat merah ini.

“Sebagai anak bangsa tentunya doa dan harapan adalah sebagaimana Pembukaan UUD 1945, yaitu berharap kepada jajaran Pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan fasilitas umum dan seterusnya. Atau dengan kata lain untuk PLN berdoa agar salah satu infrastruktur negara dibidang kelistrikan ini tetap eksis, bukan malah ‘sakaratul maut’,” harapnya.

Ia melanjutkan, namun  berdoa saja tidak cukup karena Allah SWT berfirman , ‘Allah tidak akan merubah nasib suatu  kaum kecuali kaum itu telah berusaha untuk merubahnya.’ “Artinya meskipun kita rajin berdoa tetapi minim usaha atau bahkan berperilaku berlawanan dengan isi doa tersebut, bisa jadi Tuhan malah murka karena makhluk-Nya bermain-main dengan doa,” tegasnya.

“Bangsa dan Negara ini telah men-setting  Pembukaan UUD 1945 seperti diatas yang selanjutnya diwujudkan ke dalam PancaSila dan Konstitusi yang "aduhai" itu,” jelasnya.

Namun kenyataannya, lanjut Daryoko, penguasa yang diberikan amanah untuk memegang tampuk pemerintahan ini malah membentuk oligarkhi dan bekerja sama dengan aseng dan asing mengeruk sumber daya alam untuk dibawa keluar Indonesia. Sementara rakyat  di bidang  kelistrikan  tidak dilindungi dan malah dianggap konsumen listrik dari kartel listrik yang mereka bentuk bersama Shenhua, Huadian,Chengda, Bimasena, Tommy Winata, Prayoga Pangestu serta Taipan 9 naga yang lain. 

“Energi batu bara pun dibuat aturan yang melanggar pasal 33 ayat (3) UUD 1945, hingga para pemilik modal bisa sesuka hatinya mengeksploitasi  batu bara tersebut dan dijual keluar negeri. Habislah persediaan untuk dalam negeri. Kalau ada pun harganya selangit,” tuturnya.

“Beginilah kalau komoditi strategis yang harusnya dilindungi pasal 33 ayat (3) UUD 1945 justru dijadikan "rayahan" oknum penguasa bersama pengusaha dalam dan luar negeri, dengan melanggar pasal UUD di atas,” imbuhnya.

Daryoko melanjutkan,  untuk menghilangkan jejak kelakuan para penguasa yang sekaligus pengusaha (Peng Peng) tadi, dicarilah ‘kambing hitam’. Untuk PLN misalnya dilakukan pencopotan Direktur Energi Primer.  Inilah yang dimaksud contoh kelakuan yang kontradiktif dengan doa diatas sehingga bisa jadi Allah SWT justru memberikan adzab pada  bangsa Indonesia.

“Apalagi saat ini pasal 33 ayat (2) UUD 1945 pun dilanggar oleh rezim ini dengan menjadikan kawasan Jawa-Bali kelistrikannya diserahkan ke  aseng dan asing. Hanya sekitar 10% pembangkit PLN yang masih beroperasi di kawasan ini. Sementara jaringan ritail mulai 2010 sudah dijual oleh Dirut Dahlan Iskan ke Tommy Winata, James Riady dan Taipan 9 Naga yang lain dalam bentuk Token dan Whole sale market,” imbuhnya.

Kabar terakhir, lanjut Daryoko,  menteri BUMN sudah umumkan akan membentuk sub holding bidang Niaga untuk mengefektifkan pelayanan konsumen, terlepas Menteri ini ngerti atau tidak, atau justru mengelabuhi rakyat .

“Yang jelas langkah pembuatan sub holding PLN adalah menjadi target UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja Kluster Kelistrikan,” jelasnya.

Undang-undang ini, lanjutnya, menginduk kepada  The White Paper, kebijakan restrukturisasi  sektor ketenagalistrikan yang diterbitkan oleh Departemen Pertambangan dan Energi pada 25 Agustus 1998. Undang-undang ini merupakan  copy paste dari konsep The Power Sector Restructuring Program  ( PSRP).  Konsep  yang berasal dari International Financial Institutions seperti World Bank, ADB, IMF,  sebagai  follow up dari LOI (Letter Of Intent) yang terbit pada 31 Oktober 1997. LOI itu  berisi antara lain Pemerintah RI berkomitmen untuk tidak terlibat dalam urusan pelayanan publik seperti PLN. Sehingga PLN harus di privatisasi, dijual, di swastanisasi.  Listrik akan diliberalkan atau mengikuti mekanisme pasar bebas dan tanpa subsidi lagi.

“Dan itulah target dari jurus Sub Holding PLN itu. Yaitu penuntasan privatisasi PLN tahap akhir,” jelasnya.

Daryoko berharap, agar  kekuatan rakyat dan Civil Society harus mempertahankan listrik sebagai komoditas kepemilikan publik ‘Public good’ bukan komoditas komersial  ‘Commercial good’. ” Ini sebagaimana diamanahkan pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Sehingga PLN terhindar dari bancakan para oligarkh Peng Peng. Dan semoga terhindar dari sakaratul maut,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :