Tinta Media - Seorang muslim wajib masuk Islam secara kaffah, yaitu masuk ke dalam segala syariat dan hukum Islam secara keseluruhan, bukan berislam sebagian dan mengambil selain syariat Islam untuk sebagian lainnya.
Jika seorang muslim melaksanakan Islam sebagian seraya melaksanakan selain Islam pada sebagian lainnya, itu berarti dia mengikuti langkah-langkah syaitan yang terkutuk. Firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS al-Baqarah [2]: 208).
Sebab turunnya (sababun nuzul) ayat ini, sesuai riwayat dari Ibnu Abbas berkaitan dengan Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya –para shahabat yang masuk Islam dan dulunya adalah pemeluk Yahudi— yang telah beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan syariat Islam yang dibawa beliau, akan tetapi tetap mempertahankan keyakinan mereka kepada sebagian syariat Nabi Musa AS.
Misalnya, mereka tetap menghormati dan mengagungkan hari Sabtu serta membenci daging dan susu unta.
Hal ini telah diingkari oleh shahabat-shahabat Rasulullah SAW lainnya. Abdulah bin Salam dan kawan-kawannya berkata kepada Nabi SAW, “Sesungguhnya Taurat adalah kitabullah. Maka biarkanlah kami mengamalkannya.”
Setelah itu, turunlah firman Allah surat al-Baqarah [2]: 208 di atas (Majalah Al Wa’ie, no. 159, Rabiuts Tsani, 1421, hal. 14).
Jadi, siapa saja yang telah masuk Islam, dia wajib masuk Islam secara keseluruhannya. Tidak boleh mempertahankan hukum selain Islam, sebab Islam telah menasakh (menghapus) syariat-syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran. (Al-Qur`an itu) membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian (muhaiminan) terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (QS. al-Maa’idah [5]: 48).
Yang dimaksud batu ujian (muhaiminan) artinya adalah penghapus (nasikhan) bagi syariat-syariat sebelumnya.
Dengan demikian, mempertahankan sedikit saja dari syariat-syariat sebelumnya –yang tidak diakui Islam— berarti mengikuti langkah-langkah syaitan. Firman Allah SWT:
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
“Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.” (QS. al-Baqarah [2]: 208).
Makna-makna inilah yang telah dikemukan oleh para ahli tafsir terpercaya.
Secara lebih mendalam, Imam Ibnu Katsir menfasirkan ayat di atas (2: 208) dengan menyatakan, “Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin dan mempercayai Rasul-Nya, untuk mengambil seluruh ikatan dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintah-Nya serta meninggalkan seluruh larangan-Nya, sesuai kemampan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, Juz I, hal. 247).
Sejalan dengan ini, Imam An-Nasafi, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah berserah diri dan ta’at, yakni berserah diri dan ta’at kepada Allah atau Islam.
Menurut Imam Nasafi, kata “kaaffah” adalah haal (penjelasan keadaan) dari dlomir (kata ganti) udkhulu (masuklah kalian) yang bermakna jamii’an (menyeluruh/semuanya, dari kalangan kaum mukminin).
Diriwayatkan dari Ikrimah, firman Allah di atas diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang lain yang telah masuk Islam. Mereka mengajukan konsensi kepada nabi untuk diijinkan beribadah di hari Sabtu. sebagai hari besar orang Yahudi (hari Sabath). Kemudian dijawab oleh Allah dengan ayat di atas. (Tafsir Al-Nasafi, Madarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wil, Juz I, hal.112).
Imam Thabari mengutip dari Ikrimah, bahwa ta’wil ayat di atas adalah seruan kepada orang-orang mu’min untuk menolak semua hal yang bukan dari hukum Islam; melaksanakan seluruh syari’at Islam, dan menjauhkan diri dari upaya-upaya untuk melenyapkan sesuatu yang merupakan bagian dari hukum-hukum Islam. (Tafsir al-Thabariy, Jilid II, hal. 337).
Imam Qurthubi menjelaskan bahwa lafadz kaaffah adalah sebagai haal (penjelasan keadaan) dari lafadz al-silmiatau dari dlomir mu’minin.
Sedangkan pengertian kaaffah adalah jamii’an (menyeluruh) atau ‘aamatan (umum). (Tafsir Qurthubiy, Juz III hal. 18).
Bila kedudukan lafadz kaaffah sebagai haal dari lafadz al-silmi maka tafsir dari ayat tersebut adalah Allah SWT menuntut orang-orang yang masuk Islam untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan (total). Tanpa ada upaya memilih
ada upaya memilih maupun memilah sebagian hukum Islam untuk tidak diamalkan.
Pemahaman ini diperkuat dengan sababun nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut yang mengisahkan ditolaknya dispensasi beberapa orang Yahudi, ketika mereka hendak masuk Islam. Tentunya hal semacam ini bukan hanya untuk orang yang mau masuk Islam saja, akan tetapi juga berlaku untuk orang-orang mu’min sebagaimana penjelasan Ibnu Jarir al-Thabari yang mengutip tafsir (penjelasan) dari Ikrimah di atas.
Oleh karena itu, kaum muslimin diperintahkan untuk hanya berserah diri, ta’at, dan melaksanakan seluruh syari’at Nabi Muhammad SAW (yakni Islam), bukan pada aturan-aturan lain.
Dengan demikian, jelaslah, seorang muslim dituntut masuk ke dalam Islam secara menyeluruh. Merupakan kesesatan yang nyata, apabila ada orang yang mengaku dirinya Islam, namun mereka mengingkari atau mencampakkan sebagian syari’at Islam dari realitas kehidupan, seperti mengikuti paham sekularime (pemisahan agama dari kehidupan) yang ada saat ini.
Al-Qur’an dengan tegas mengecam sikap semacam ini, firman Allah SWT:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“…Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab serta mengingkari sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat nanti mereka akan dilemparkan pada siksa yang amat keras.” (QS al-Baqarah [2]: 85).
Wallahu a’lam.
Oleh: KH. M. SHIDDIQ AL JAWI
Founder Institute Muamalah Indonesia