KEGAGALAN, MASALAH DAN SOLUSI BIDANG HUKUM: Refleksi 2021 dan Prediksi 2022 - Tinta Media

Jumat, 07 Januari 2022

KEGAGALAN, MASALAH DAN SOLUSI BIDANG HUKUM: Refleksi 2021 dan Prediksi 2022

Tinta Media - Pertanyaan saya adalah: Betulkah Penegakan Hukum Gagal? Apa indikator gagal? Gagal atau belum berhasil? Belum berhasil apa? Tentu BRINGING JUSTICE TO THE PEOPLE yang ditandai dengan PENEGAKAN HUKUM yang baik, adil, tidak diskriminatif, tidak brutal, dan menghormati HAM. 

Coba kita tengok bagaimana wajah praktik dan sistem hukum di Indonesia hingga tahun 2021. Hukum dan Politik itu berkelindan. Ini hasil penelitian Pak Mahfud MD untuk kepentingan disertasinya. Bagaimana SITUASI POLITIK KITA SEKARANG? Kita simak pernyataan Menkopolhukam sebagai berikut: 

“Politik dan keamanan nasional yang terbaik dibanding bidang yang lain. Unjuk rasa masih banyak tapi masalah perburuhan. Perburuhan. Omnibus law ya. Yang lain saya kira tidak lagi,” kata Mahfud MD sebagaimana dilihat di rekaman video salah satu acara detikcom, Jumat (31/12/2021). 

“Tapi demo-demo di berbagai daerah dengan teriakan TAKBIR dan persekusi tidak ada lagi. Dulu kan bupati ini didemo dengan pakaian gamis,”  katanya lagi. 

Ukuran kondusif antara lain: ada nggak teriakan TAKBIR? Wah. Aneh bukan? Alasannya mungkin seperti pernyataannya kemarin: FPI BUBAR RAKYAT SENANG. Lalu, bagaimana dengan HUKUM? Merujuk hasil survei beberapa lembaga, Mahfud MD menyebut bahwa kinerja yang relatif masih jelek di bawah koordinasinya adalah di bidang hukum. 

“Hukum agak jelek tapi tetap lebih baik dari 2019 pada saat pertama saya ditunjuk jadi menteri. Waktu itu Presiden menyodorkan data (indeksnya) 49,4%, sekarang sudah 52% lebih,” kata Mahfud MD dalam video itu. 

Pendapat saya akan saya awali dari adanya FAKTA hukum TERKINI menyangkut HBS dan Gus Nur. Menyusul adanya pernyataan Ulama, advokat Jabodetabek pada tanggal 30 Desember 2021. Menurut saya, ini adalah puncak-puncak bagaimana upaya MENGKANDANGKAN ULAMA begitu tampak (mulai dari HRS, Gus Nur, kini HBS). Dalam pernyataan sikap ditegaskan bahwa pada akhir Desember tahun 2021, rezim Jokowi tidak henti-hentinya melakukan kriminalisasi terhadap ulama. Beredarnya Surat Pemanggilan terhadap Gus Nur untuk dieksekusi Jaksa Surabaya dan terbitnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap Habib Bahar Bin  Smith (HBS) adalah bukti kriminalisasi ulama sedang dan terus terjadi di era kepemimpinan Jokowi. 

Menurut saya, terkait dengan HBS mestinya tidak perlu ada SPDP karena soal pencemaran nama baik hrs ditangani berdasar KUHP bukan UUITE. Jadi harus yang merasa tercemar namanya yang melaporkan. Harus Jendral Dudung sendiri, bukan orang lain. Kita perhatikan ucapan Mahfud MD: 

Menurut Mahfud MD, untuk revisi UU ITE ini sudah masuk ke DPR RI dua minggu lalu atau sekitar 16 Desember 2021 dan akan menjadi prioritas di 2022. 

“Revisi UU ITE ini dilakukan agar tak ada lagi pasal karet. Mencemarkan nama baik itukan selama ini diancam UU ITE. Sekarang tidak lagi. Sanksi pencemaran nama baik kita pakai KHUP, bukan dengan UU ITE,” jelasnya. 

Selain sanksi pakai KUHP, pelapor pencemaran nama baik ini harus dilaporkan yang bersangkutan, tidak boleh orang lain. 

“Sebelum diajukan ke pengadilan, harus pakai restorative justice dulu,” jelas Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini. 

Berkenaan dengan FAKTA SPDP HBS, Advokat, Ulama dan Aktivis se Jabodetabek telah membacakan pernyataan bersama yang pada intinya MENGECAM PROSES HUKUM atas kedua ulama tersebut. Inilah sebagian  POTRET HUKUM kita. 

Sekarang kita tengok secara teoretik bagaimana wajah hukum secara umum pada tahun 2021, diawali 2020. Menurut Lawrence M Friedman hukum itu sebuah sistem yg terdiri dari 3 komponen, yakni legal substance (peraturan), legal structure (kelembagaan dan APH) dan legal culture baik, Internal Legal Culture (ILC) maupun External Legal Culture (ELC). Ketiganya sangat berpengaruh dlm PROSES HUKUM, yakni pembentukan hukum dan penegakannya. 

Saya melihat proses hukum di tahun 2021 masih berjalan "dying" sehingga terkesan "ugal-ugalan" yang puncaknya ditandai dengan: 

A.  PEMBENTUKAN MATERI HUKUM
Lebih banyak bersifat TOP DOWN  bahkan Stubborn Law Making:  dipertahankannya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang cacat baik dari sisi formil maupun materiil. MK memutuskan: Inkonstitusional bersyarat dan UU CK tetap berlaku. Sebuah putusan yang sangat ambigu. Demikian juga untuk Permenristekdikti PPKS, UU Pesantren berkarakter yang sama. DPR dan Presiden sebagai lembaga legislatif terkesan tidak mampu mewakili aspirasi rakyat dan terkesan "nggugu karepe dhewe", mengikuti kemauan sendiri dan secara kebetulan didukung oleh lembaga yudikatif baik di MA maupun MK. 

B. PENEGAKAN HUKUM STRUKTURAL
Penegakan, ditengarai Hukum Tak Kunjung Tegak, misalnya kita kaji kasus: 

(1) penyelesaian kasus HRS menyisakan ketidakadilan (prokes dan bohong RS Ummi), persidangan kasus terbunuhnya 6 laskar FPI secara extrajudicial killing (juga terkesan dilakukan secara "dagelan"). 

a. Yang kecil dibesar-besarkan (HRS) bahkan terkesan dipolitisasi;
b. Yang besar dikecil-kecilkan (dugaan pelanggaran HAM berat, unlawfull killings 6 anggota laskar FPI). 

Berdasar realitas di atas tampak bahwa hukum dan politik hubungannya sangat erat dalam praktik hukum yang mengabaikan keadilan dan kebenaran.  Telah berdiri INDUSTRI HUKUM dengan slogan "NEGARA TIDAK BOLEH KALAH" yang dalam praktik diterapkan secara keliru. 

Prinsip ini menjauhkan karakter negara benevolen, negara pemurah dan menghadap hadapkan PEMERINTAH dengan RAKYAT bahkan cenderung membangun relasi permusuhan antara keduanya. Rakyat bukan musuh pemerintah. Namun ketika atmosfer politik dituntut oleh slogan negara tidak boleh kalah maka negara akan bertindak otoriter dan hukum akan cenderung dipakai sbg sarana untuk "melegitimasi kekuasaannya", sehingga hukum sangat represif. Apalagi jika berurusan dengan dugaan adanya tindak pidana terorisme atau radikalisme sementara paradigma penegakannya sdh berubah dgn UU Terorisme 2018, berorientasi pada HAM. 

Kita bisa bayangkan kejadian yang menimpa HRS, di mana ada fakta bahwa "ULAMA BESAR DENGAN PENGIKUT JUTAAN SAJA DIZALIMI, APALAGI RAKYAT BIASA", seperti yang dikemukakan oleh Lieus Sungkharisma. Tokoh sekaligus aktivis Tionghoa Lieus Sungkharisma mengaku sangat prihatin atas perilaku penguasa. Sebagai negara besar yang ber-Pancasila, bagaimana mungkin penguasanya justru menzalimi warga negaranya sendiri. Dan kabar terbarunya adalah bahwa di tingkat Kasasi, MA memotong pidana HRS untuk kasus Swab RS UMMI menjadi 2 tahun dari 4 tahun. Jadi kalau ditambah pidana kasus Petamburan 8 bulan, maka pidana yang harus dijalani HRS 2 tahun 8 bulan UNTUK KASUS yang terkesan "REMEH". 

Lalu, di mana janji Kapolri untuk mengedepankan Restorative Justice dengan slogan Presisinya? 

(2) Di bidang pemberantasan korupsi, tahun 2021 juga dikenal tahun pelemahan  KPK secara internal.
Menyoroti 2 Tahun Kepimpinan Firli Cs, ICW menyatakan bahwa "dulu Pelemahan dari Luar, Sekarang Pimpinan KPK". 

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti perbedaan kondisi KPK sebelum dan sesudah dipimpin Firli Bahuri Dkk. Menurut ICW, selama dua tahun kepemimpinan Firli Cs, pelemahan KPK justru berasal dari internalnya sendiri. 

“Kalau dulu pelemahan terjadi dari luar KPK, tapi hari ini dari internal KPK yaitu dari pimpinan KPK,” kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (27/12/2021). Kata Kurnia, bentuk-bentuk pelemahan terhadap KPK terlihat sudah sangat jelas, diawali dengan revisi Undang Undang KPK hingga dipecatnya 57 pegawai, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. 

(3) Penanganan TERORISME dan RADIKAL RADIKUL 

Tahun 2022 dikenal sebagai TAHUN MODERASI, bercermin pada massifnya penangkapan TERDUGA TERORISME di tahun 2021, maka tahun 2022 tetap akan marak dan penangannya boleh jadi terdapat pengabaian HAM. Extrajudicial killings diprediksikan masih tetap akan terjadi. War on Radicalisme tetap akan jadi prioritas dengan dalih penyelematan NKRI, sementara yang menghancurkan negeri ini bukan terorisme dan radikalisme tetap KORUPSI DAN OLIGARKI (PENGPENG). 

C. BUDAYA HUKUM (BH). 

(1) BH PENEGAK HUKUM (Internal) masih jelas diunggulkannya prinsip "negara tidak boleh kalah" juga dapat menggiring kekuasaan ke arah constitutional dictatorship. 

Mengapa, karena dengan memosisikan negara c.q. Pemerintah di atas rakyat maka hukum yang ada akan dikendalikan sebagai sarana represif kepada rakyat sekaligus melegitimasi semua tindakan diktator Pemerintah. Ini yg kita sebut otoritarianisme. Hukum dijalankan untuk melegalkan tindakan jahat Pemerintah terhadap rakyatnya. Kalau misi itu diback up oleh poiisi, maka negara hukum itu akan menjadi POLICE STATE. Brutality enforcement dapat terjadi, misalnya dalam penangkapan terduga teroris, "kriminalisasi kotak amal", PEMAKSAAN VAKSINASI. 

Fenomena pasukan TNI yang dipimpin oleh Danrem Brigjen Ahmad Fauzi ke Ponpes HBS terkait dengan ceramah HBS yang diduga menyinggung Kasad Dudung Jendral Abdurrahman adalah salah satu wujud otoritarianisme dan pola penegakan hukum yang diwarnai oleh "abuse of power". TNI dan Polisi mempunyai tupoksi yang jelas sudah diatur baik dalam UU TNI maupun UU Kepolisian Negara RI. Soal Gakkum dan Keamanan adalah urusan Polisi, bukan urusan TNI. TNI baru boleh memasuki wilayah itu ketika secara resmi Polri meminta bantuan pengamanan kepada TNI. 

(2) Di sisi lain, budaya hukum masyarakat pada tahun 2021 masih bersifat LEGAL ADDICTIVE (ADDICTIVE LAW). Kecanduan melaporkan orang lain yang sebenarnya perkaranya dapat diselesaikan secara Restorative Justice (RJ). Mengapa hal ini terjadi, karena PINTU RJ juga masih terkesan SETENGAH DIBUKA oleh POLISI padahal dari sisi PERATURAN HUKUM sarana RJ sdh ada mulai dari Kepolisian, Kejaksaan hingga Pengadilan. Ketika legal addictive ini masih kuat, maka RJ juga sulit diterapkan. Tahun 2022 diprediksikan karakter ini masih sama. 

Berdasar potret buram hukum di tahun ketiga periode kedua Kabinet Kerja Jokowi ini, yakinkah kita bahwa tahun depan (2022) potret hukum kita lebih bening? Saya tidak begitu yakin, bahkan dapat diproyeksikan kekuasaan rezim semakin otoriter dan oleh karenanya represif. Boleh jadi bentuk negara kita memang masih republik demokrasi tetapi sebenarnya kita sudah meninggalkan sistem itu menuju okhlokrasi yakni ketika negara dikendalikan oleh kelompok PERUSAK yang sebenarnya tidak mengerti bagaimana cara menjalankan negara untuk membahagiakan rakyatnya (benevolen).  So, saya tetap memprediksikan tahun 2022 tahun ELEGI PENEGAKAN HUKUM. Aromanya sudah tercium pada detik-detik akhir tahun 2021. 

What will be, will be! Alloh, Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan semuanya, yang penting kokohkan koordinat kita sebagai bagian umat yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan di muka bumi bervisi pada syariat Alloh, bukan menjadi kaum pecundang yang meragukan kebenaran hukum Alloh (syariat Islam). Tetaplah ingat dengan slogan ini: "No Law Without Moral, No Moral Without Religion". 

Tabik...!!! 

Semarang, Ahad: 2 Januari 2022

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat













Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :