Tintamedia -- Ferdinand Hutahaen menjadi politisi yang ramai diperbincangkan di media. Namanya terlibat dugaan pelecehan agama karena cuitannya di twitter viral. Ferdinand menulis perihal Allahku kuat dan Allahmu lemah. Warganet ramai memberikan kritik pedas terhadap cuitan eks politisi partai Demokrat tersebut. Kegeraman warganet sepadan dengan tingkah polah sang politikus yang dinilai berubah-ubah.
Saat cuitannya viral, dia berkelit bahwa yang dikatakannya bukan untuk melecehkan Islam. Namun, saat dirinya menghadapi proses hukum, dia mengaku bahwa sebenarnya sudah muallaf sejak tahun 2017 silam. Padahal, identitas pada KTP-nya jelas mencantumkan kristen sebagai agamanya. Masyarakat melalui warganet yang aktif memantau perkembangan kasusnya makin menunjukkan reaksi. Beragam komentar pedas menghampiri dan meminta pemerintah bersikap tegas terhadap kasus penistaan agama tersebut.
Di tengah ramainya partisipasi masyarakat mengawal kasus ini, pemerintah melalui menteri agama justru merespon sebaliknya. Disarikan dari situs wartaekonomi.com, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memberikan imbauan kepada masyarakat agar jangan melakukan tindakan tanpa didasari landasan hukum yang berlaku. Masyarakat dilarang melemparkan cacian melalui komentar pedas terhadap Ferdinand Hutahaen. Imbauan ini diklaim untuk menghindari keributan antarmasyarakat dan umat beragama.
Respon pemerintah melalui Menteri Agama sontak memancing tanya, mengapa justru pemerintah melarang masyarakat menyampaikan aspirasinya yang geram karena agamanya dinistakan dan malah terkesan membela sang penista agama?
Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Namun ironis, negeri ini mengalami catatan buruk terkait penistaan agama Islam. Penghinaan terhadap nabi, penistaan terhadap pakaian muslimah, dan kini cuitan politikus Ferdinand Hutahaen yang melontarkan kalimat penistaan terhadap Allah menambah daftar hitam kasus penistaan agama di negeri ini.
Inilah bukti ketika kebebasan berbicara menjadi hal yang diagung-agungkan. Dalam konsep kapitalisme liberal, kebebasan berperilaku dan berbicara merupakan hal yang harus dijamin keberadaannya. Namun demikian, pandangan sekulerisme yang melatarbelakangi kebebasan tersebut telah menjadikan agama menjadi nomor dua dalam kehidupan. Agama diakui kehadirannya, tetapi tak dianggap peraturannya.
Hal tersebut jelas bertentangan dengan Islam. Sebagai agama sekaligus sebuah ideologi yang darinya terpancar aturan kehidupan, Islam dengan jelas mengatur batasan perilaku seseorang. Kaidah fiqih dalam Islam jelas mengatur, terkait hukum asal perbuatan adalah terikat hukum syara. Dengan demikian, seorang muslim wajib menimbang apa yang akan diperbuatnya.
Terkait penistaan agama, syariat jelas memberikan sanksi tegas bagi pelakunya. Pada zaman Rasulullah ada seorang wanita yahudi bernama Asma binti Marwan dan Abu Afak yang melontarkan penghinaan terhadap Rasulullah saw. Terhadap mereka, Rasulullah memberikan sanksi yang tegas berupa hukuman mati. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku sehingga tidak ada pihak lain yang mengulangi perbuatan serupa.
Demikianlah semestinya pemerintah bersikap terhadap kasus penistaan agama yang terjadi di negeri ini. Penanganan yang tepat akan membuat para pelaku jera dan menganggap agama bukanlah sesuatu yang pantas dipermainkan. Wallahu alam bishshawab.
Oleh: Ummu Azka