Tinta Media - Meskipun usianya sudah tidak muda, namun semangat Irianti Aminatun dalam menulis, sungguh luar biasa. “Awalnya bukan pilihan tapi karena tugas dakwah. Namun seiring meningkatnya pemahaman, menulis menjadi pilihan karena menulis mengikat ilmu, mencerdaskan diri dan mencerdaskan umat,” tutur nenek kelahiran Yogjakarta, 9 Oktober 1960.
Di saat nenek seusianya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menimang cucu, Irianti lebih memilih jalan dakwah sebagai penulis ideologis. Sekitar bulan Agustus tahun 2000, ia bertemu dengan Ustazah Sulistiawati (Ummu Salamah) yang menjelaskan tentang hakikat hidup dengan sangat gamblang. “Dari penjelasan itu, saya lalu mengazamkan diri untuk mendedikasikan hidup untuk keluarga dan dakwah. Karena perubahan orientasi hidup ini, terjadi ketidaksepahaman dengan pasangan hidup yang nyaris membuat rumah tangga kami kandas. Tapi, seiring waktu melihat realita bahwa dengan dakwah manajemen rumah tangga menjadi lebih baik, pendidikan anak semakin terarah, akhirnya dakwah tak masalah,” papar nenek bercucu empat ini.
Ibu rumah tangga yang saat ini tinggal di Bandung ini, telah banyak menelorkan banyak tulisan opini. “Sebelum di TM (Tinta Media), saya mengirim tulisan ke berbagai media online seperti Radar Indonesia, Ayo Bandung, Pelita Jabar, Dobrak, Jabarekspres, dan lain-lain,” ungkap Ibu beranak empat tersebut.
Baginya, menulis opini bisa mengukur kemampuan dalam memilih angle (sudut pandang) dan merunutkan konsistensi pendapat. “Sedangkan untuk umat, bahagia bisa berkontribusi mencerdaskan umat lewat tulisan opini,” kata perempuan bercucu empat ini.
Irianti menuturkan, bahwa ia menulis opini itu karena tugas, bukan karena bisa. “Makanya dalam menulis kadang banyak copy paste, kadang enggak mengalur, yang penting jadi tulisan. “Pas dapat ilmu dari Om Joy (Jurnalis) tentang menulis opini, saya mulai praktikkan. Puncak praktik saat ada sayembara dari Om Joy. Itu saya pengen ketawa dan malu pada diri sendiri,” ujarnya.
“Ceritanya, saat Om Joy mengatakan ‘kalau tulisan mbak Irianti sama baik dengan tulisan mbak Raras (pemenang sayembara), tapi Mbak Raras menyertakan data 100 % tulisan unik, pasti saya akan memilih tulisan Mbak Raras’. Saya lalu berkesimpulan, oh saya tereliminasi karena tidak menyertakan data. Kemudian iseng dengan kegaptek-kan saya, saya buka cek plagiarisme. Muncul disitu banyak keterangan. Saya nggak perhatikan tuh keterangan-keterangan itu. Saya hanya fokus melihat judul tulisan saya dan disitu tertulis unique. Dengan PD-nya saya kirimlah ke TM,” ungkapnya.
Besoknya ia iseng cek lewat laptop. Nah, di laptop ini baru terbaca jelas hasil akhir dari cek plagiarisme. “Ternyata tulisan saya hanya 44 % unique. Masya Allah, disitulah rasanya saya malu pada diri sendiri, dan sadar bahwa kemampuan menulis opini saya masih di bawah standar,” ujarnya sambil tersipu malu.
“Jazakumullah Tim Tinta Media, Om Joy yang telah menunjukkan kekurangan saya dan memberikan jalan menutup kekurangan itu dengan terus menulis,” imbuhnya.
Jatuh Cinta dengan SN
Kecintaan Irianti terhadap menulis berita lugas atau straight news (SN) bermula saat ia bergabung dengan Tinta Media.
“Kalau sebelumnya, menulis hanya memenuhi tuntutan tugas dakwah, setelah bergabung di Tinta Media membikin straight news menjadi kebutuhan. Dakwah menjadi sangat dinamis dengan materi-materi hasil menulis SN. Merasa ada yang kurang jika tidak menulis SN dalam sehari,” ungkapnya.
Perkenalannya dengan TM saat tanggal 12 November 2021, Om Joy memposting tulisan tentang kritik terhadap Fatwa MUI yang di publish Tinta Media, di grup Agen Media Umat (MU). “Saya lihat disitu ada ‘Kirim artikel Sahabat Tinta Media ke 083162973289’. Dari situ saya kenal Tinta media dan mengirim opini tentang ‘Fatwa Ulama Harus Mengacu Pada Dalil Syariah’ tanggal 14 November 2021,” ujarnya.
Saat Tinta Media mengadakan acara bersama Om Joy yang bahas tentang SV (Straight Views atau opini lugas), disitulah Irianti tertarik untuk bergabung dengan Tinta Media demi meningkatkan profesionalisme dalam menulis. “Tapi belakangan ‘jatuh cinta’ dengan Tinta Media,” ungkapnya.
Irianti bergabung dengan grup Sahabat Tinta Media (STM) sejak tanggal 16 November 2021, setelah tulisannya di publish di portal web tersebut. Perkenalannya dengan straight news bermula saat acara Om Joy yang membahas perbedaan SV dan SN. Irianti pun meminta admin untuk digabungkan di grup Sahabat Straight News (SSN).
“Sejak bergabung dengan Sahabat SN tanggal 6 Desember 2021 hingga hari ini (20Januari 2022) ada sekitar 50 SN yang sudah dibuat dan 3 opini. Ada sekitar 45 SN (termasuk di MU) yang sudah tayang. Kalau opini baru 3,” tuturnya.
Setelah di Tinta Media, Irianti jarang menulis opini. Irianti lebih fokus di SN. Karena SN langsung terhubung dengan nara sumber dari berbagai disiplin ilmu. Dan ini sangat menunjang amanah dakwahnya yang langsung berhadapan dengan para tokoh. “Saya tidak kehabisan fakta dan solusi dalam berdiskusi dengan para tokoh, karena ilmunya ada di SN,” tukasnya.
Menurutnya, lebih mudah menulis SN dibandingkan opini. “Awal-awal paling sehari 1 SN, bahkan ada yang bolong juga. Tapi sekarang, alhamdulillah sehari bisa lebih dari satu,” ujarnya.
Saat menulis SN, Irianti merasa langsung dapat ilmu dari narasumber dan ilmunya melekat di benak karena diikat oleh tulisan. “Saat di publish, bahagia karena bisa berkontribusi mencerdaskan umat,” ungkapnya.
Selain bahagia, irianti juga membagi dukanya saat menulis SN. “Jika harus transkrip dulu apalagi butuh waktu berjam-jam. Belum kalau angle-nya banyak. Mumet mengambil angle (sudut pandang pemberitaan) yang paling oke, sampai kadang membuat amanah lain menjadi ‘terbengkelai’. Tapi saya sadar ini adalah proses. Seiring berjalannya latihan akan menemukan trik-trik khusus yang membuat semuanya menjadi enjoy,” bebernya.
Lebih lanjut, kata Irianti, awalnya memilih angle terasa sulit. Tapi seiring banyak latihan alhamdulillah tak lagi jadi kendala. “Meski kadang belum tepat juga. Buktinya masih terkoreksi sama editor. Demikian pun dalam transkrip yang menyita waktu,” ungkapnya.
Irianti juga membagi pengalamannya saat mentranskrip acara berdurasi 1 jam dari narasumber. “Kalaupun panjang insyaallah ada ilmu yang bisa kita ambil mbak Nur (reporter Tinta Media). Yang Ustaz Labib (narasumber) kemarin itu durasinya 1 jam lebih. Transkripnya 4 halaman. Setelah dibikin SN hanya 1 lembar. Tapi dapat ilmu yang lain,” ujarnya.
“Mudah-mudahan keburu Ustaz. Ini yang UIY (narasumber) belum selesai. Tadi hampir setengah hari bikin transkripnya. Dalam mentranskrip, saya belum bisa ngambil poin-poin seperti tips yang Ustaz berikan,” ungkapnya di lain kesempatan.
Sejak mengenal SN, tak bisa dipungkiri Irianti jarang menulis opini. “Merasa ada yang kurang jika tidak menulis SN dalam sehari. Kalau Opini jujur saya akui menjadi dinomorduakan. Tapi itu hanya soal manajemen waktu. Jika sudah ketemu triknya, saya berazam memperlakukan SN dan Opini sama pentingnya,” ucapnya yakin.
Irianti berpesan kepada para pemuda pemudi Islam yang berusia lebih muda darinya agar tetap bersemangat menjadi penulis ideologis.
“Hidup ini adalah ujian untuk menguji siapa yang paling baik amalnya. Menulis ideologis memberi banyak peluang untuk kebaikan. Mengikat ilmu yang kita dapat, menjadi bahan dakwah secara lisan dalam bentuk yang terstruktur, terdokumentasi sehingga bisa dibaca oleh siapapun dan kapanpun. Bisa jadi kita sudah tiada tapi saat tulisan kita masih ada dan dibaca orang, kemudian terinspirasi berbuat baik dari tulisan kita, maka pahala akan tetap mengalir,” pesannya.
Jadi...yuk semangat menulis!
Oleh: Achmad Mu’it
Jurnalis