Tinta Media - Kenaikan harga minyak goreng dalam beberapa bulan terakhir dikarenakan pemerintah melepas harga minyak goreng kepada mekanisme pasar.
“Kenaikan harga minyak goreng dalam beberapa bulan terakhir terjadi karena permintaan global meningkat tajam dibandingkan dengan produksi yang relatif stagnan. Produsen utama palm oil yang menjadi bahan baku minyak goreng adalah Indonesia dan Malaysia, dengan porsi masing-masing 59 persen dan 25 persen. Meskipun demikian, kenaikan harga minyak goreng tersebut terjadi karena pemerintah melepaskan harganya kepada mekanisme pasar,” tutur Peneliti Forum Analisis dan Kajian untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak pada Tinta Media, Ahad (30/01/2022).
Menurutnya, harga domestik meningkat tajam sehingga produsen lebih memilih mengekspor dibandingkan dengan menjual di dalam negeri. “Dan jika dijual di dalam negeri maka harganya akan mendekati harga internasional,” ujarnya.
Mengingat minyak goreng masuk dalam sembako yang sangat dibutuhkan masyarakat maka, menurut Ishak, pemerintah semestinya turun tangan dengan cara yang tepat.
Pertama, meningkatkan subsidi pembelian minyak goreng. “Selama ini subsidi Bulog sebagai penyangga harga pangan semakin kecil sejalan dengan menguatnya liberalisasi sektor perdagangan. Bahkan Bulog saat ini tertekan oleh utang yang mencapai 27 triliun sehingga harus membayar bunga hingga 2,5 triliun,” bebernya.
Kedua, pemerintah dapat mewajibkan Domestik Market Obligation (DMO) sehingga supply domestik untuk produksi minyak goreng dapat meningkat dan membebaskan Pajak Penjualan pada produk minyak goreng. “Pemerintah juga harus mendorong KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) untuk segera menyelidiki potensi kartel dalam kenaikan harga minyak goreng tersebut sehingga dipastikan tidak ada permainan harga di kalangan produsen,” tegasnya.
“Dengan demikian harga minyak goreng dipastikan akan turun. Buktinya harga di Malaysia lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia padahal produksi palm oil Indonesia dua kali lebih besar daripada Malaysia,”bandingnya.
Di Indonesia, lanjut Ishak, sebenarnya ada dana BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) yang mencapai Rp51 triliun. “Selama ini lebih banyak dinikmati produsen besar. Semestinya dana ini bisa segera dipakai untuk mensubsidi minyak goreng,” tandasnya.
Solusi
Terkait dengan kebijakan satu harga, menurutnya itu bukan solusi yang tepat. “Kebijakan satu harga yang ditetapkan pemerintah bukanlah solusi yang tepat, sebab pembatasan harga hanya akan menciptakan pasar gelap dan selama ini pengawasan pemerintah juga sangat lemah, sehingga kebijakan itu sia-sia. Terbukti di lapangan harga-harga jauh di atas harga patokan tersebut,” jelasnya.
Ia lalu membeberkan solusi Islam dalam mengatasi kenaikan harga. “Di dalam Islam, pemerintah harus turun tangan dalam mengatasi kenaikan harga yang membebani masyarakat. Sebab itu bagian dari upaya menjaga kemaslahatan mereka yang merupakan tanggung jawab pemerintah,” bebernya.
Meskipun demikian, lanjutnya, pemerintah dilarang melakukan pembatasan harga atau tas'ir. Sebab hal itu telah dilarang oleh Nabi SAW. Yang bisa dilakukan adalah mempengaruhi harga dengan meningkatkan supply, seperti yang dilakukan oleh Umar yang membebaskan cukai minyak zaitun ketika barang tersebut langka di pasar domestik.
Masalahnya, menurut ishak, di negara sekuler seperti saat ini, seringkali pemerintah takluk kepada pengusaha. Seperti pada kasus batubara yang lebih banyak diekspor karena harganya sangat tinggi, sehingga kebutuhan PLN berkurang bahkan terancam krisis. Kewajiban DMO juga tidak diindahkan pengusaha karena dendanya lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan ekspor. Protes yang dilayangkan pengusaha eksportir dan negara-negara importir membuat pemerintah membatalkan rencana tersebut.
“Inilah kalau pemerintah tidak cukup serius di dalam mengurusi urusan rakyat dan lebih berpihak kepada para pemodal,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun