Tinta Media - Undang-undang IKN yang disahkan beberapa waktu lalu dinilai oleh Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnu Wardana sama sekali tidak memperhatikan rakyat.
“Perhatian terhadap rakyat itu tidak ada sama sekali,” tuturnya dalam Diskusi Online: Ibu Kota Baru untuk Siapa? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (23/01/2022).
Agung memberikan contoh, teman-teman Walhi yang sudah banyak membuat tulisan dan banyak terbitan terkait dengan protes-protes ini tapi tidak diperhatikan sama sekali. “Artinya perhatian terhadap rakyat itu tidak ada sama sekali,” tegasnya.
“Ini nyambung dengan yang disampaikan Jeffrey Winters dalam bukunya oligarki, bahwa pola baru kapitalisme sekarang ini ada yang disebut dengan oligarki yakni para pemilik material power yaitu para kapitalis pemilik modal, mengendalikan birokrasi. Atau dalam bahasa lain namanya korporatokrasi,” jelasnya.
Menurutnya, korporasi dengan birokrasi kawin, sehingga menjadi sebuah perampokan secara legal di negeri ini, merampas hak-hak publik. Para oligark ini mempengaruhi keputusan-keputusan publik, termasuk mempengaruhi representatif rakyat yang akhirnya ditetapkan peraturan tadi.
“Ini sangat berbahaya dan ini sudah dirasakan oleh semua orang dan menjadi rahasia umum bahwa pola oligarki telah ada di seluruh dunia termasuk di negeri ini,” terangnya.
Meski Agung mendukung upaya masyarakat Kaltim, Walhi dan Prof. Din Syamsudin yang melakukan judicial reviewterkait UU IKN ke Mahkamah Konstitusi, tapi ia pesimis bahwa ini akan memenuhi keadilan bagi rakyat.
“Jalur konstitusi yang bisa dilakukan, ya hanya itu. Walaupun banyak pihak sebenarnya yang enggak percaya terhadap MK,” tutur Agung pesimis.
Agung menilai bahwa judicial review ini akan sama nasibnya dengan undang-undang Omnibuslaw Ciptaker. MK hanya melihat dari aspek prosedural, bukan aspek substantifnya.
“Saya khawatir di konteks ini, undang-undang IKN berhenti di semacam inkonstitusional bersyarat. Itu pun kalau dianggap inkonstitusional,” paparnya.
Agung memberikan alasan upaya yang dilakukan pansus membuat konsultasi publik di beberapa kampus, melakukan rapat dengar pendapat hukum di DPR beberapa bulan lalu, ini akan menjadi bantalan bahwa undang-undang itu sudah dilakukan konsultasi publik dan partisipasi publik.
“Sehingga kalau melihat dari sistem trias politica yang ada sekarang ini sepertinya masyarakat kita akan kecewa. Artinya representatif rakyat itu tidak bisa dijawab oleh kelembagaan trias politica yang dimiliki oleh kita. Dan saya pikir yudikatif dengan MK, harapannya kita mendapat keadilan. Tapi seringkali harapan tidak semanis kenyataan,” jelasnya.
Agar rakyat mendapatkan keadilan, Agung mendukung masyarakat yang melakukan judicial review. Tapi ia juga mendorong agar pergerakan ekstra parlementer lebih serius lagi.
“Saya mendorong pada masyarakat yang saat ini menolak IKN, terutama dari masyarakat Kalimantan Timur untuk melakukan pergerakan penolakan di berbagai tempat termasuk kalau perlu turun ke jalan mem-back uppergerakan teman-teman yang sedang melakukan judicial review. Ini sebagai bagian mengoptimalisasi proses, lewat kelembagaan yang ada,”paparnya.
Ia berharap masyarakat melakukan pergerakan ekstra parlementer dengan melakukan protes-protes tanpa kekerasan di berbagai tempat, termasuk tulisan, meme, video pendek di berbagai tempat untuk menolak proyek IKN ini yang cenderung menjadi proyek oligarki. Ini jangka pendek.
“Untuk jangka panjang tentu kita harus mulai memikirkan, apakah sistem trias politica ini masih bisa kita percaya? Kenyataannya sistem trias politica ini sering terjebak oleh kepentingan oligarki. Jeffrey Winters pun menyampaikan bahwa sepertinya trias politica ini enggak mampu untuk mengenyahkan oligarki,” jelasnya.
Oligarki itu lanjut Agung, terbentuk karena proses kapitalisme yang berkembang yaitu adanya kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin. Kelompok 1 % dengan kelompok 99%. Nah kelompok 1 % ini yang memiliki mafia poweryang hari ini sudah menjadi benang kusut untuk diurai.
“Membuat prosedural baru dalam menata trias politica kita ini sepertinya enggak akan ketemu juga. Banyak pihak sudah mencoba menata ulang. Prosedural election kita ditata sedemikian rupa ternyata enggak ketemu itu ujung pangkalnya,” ungkapnya.
“Oleh karena itu langkah jangka menengah dan panjang, saya usulkan mulai dipikirkan perubahan sistem di negeri ini. Saya juga mendorong teman-teman Walhi untuk mulai memikirkan lagi apakah sistem ini masih bisa kita percaya dalam menata kenegaraan kita hari ini?” ujarnya.
Menurutnya, kalau sudah tidak percaya lagi karena hegemoni dari oligarki sudah jadi benang kusut, ia menilai sistem alternatif itu harus mulai diperbincangkan secara serius dalam diskursus yang tanpa persekusi di tengah masyarakat.
“Inilah yang pantas untuk kita pikirkan ke depan. Sistem ini harus kita tata lagi dengan lebih baik yaitu dengan ganti sistem. Itu menurut saya,” pungkasnya.[]Irianti Aminatun