Tinta Media - Kebijakan pemerintah meleburkan beberapa lembaga riset ke dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) dinilai akan membuat mandeknya riset dan inovasi di Indonesia. “Penetapan BRIN sebagai lembaga otonom bakal serta merta menjadi mandeknya riset-riset dan inovasi di Indonesia,” ucap Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana dalam Kabar Petang: Riset Indonesia Mati Suri? Selasa, 11/1/2022 di kanal YouTube Khilafah News.
Menurutnya, peleburan lembaga riset seperti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ke Badan Riset dan Inovasi Nasional akan menjadi titik kritis adalah mandeknya proses-proses penelitian yang saat ini sedang berjalan. “Penggabungan dan dipindah pusat risetnya mengakibatkan riset-riset strategis yang penting untuk negara menjadi mandek atau terjeda dalam waktu lama. Berikut SDM para peneliti yang harus ditata ulang,” ujarnya.
Ia mencontohkan riset pembuatan vaksin merah putih yang dikomandani oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. “Ketika di gabung dengan BRIN menjadi mandek risetnya. Riset ini akan mengalami jeda karena penggabungan dan perpindahan ruangan, tempat, dan sebagainya, laboratorium menentukan proses untuk melakukan penelitian virus seperti penelitian terkait virusnya dan anti virus, vaksin, tentu membutuhkan ruang dan waktu yang layak,” jelasnya.
“Kita ketahui perubahan-perubahan terkait birokrasi para peneliti, para periset juga akan menyebabkan jeda penelitian yang sangat penting terkait vaksin merah putih,” tambahnya.
Ia melihat, para periset di Eijkman tidak direkrut oleh BRIN karena memberikan kritik agar Indonesia tidak bergantung pada vaksin asing. Periset di Eijkman beralasan, ada peluang untuk membuat vaksin merah putih dengan konteks keindonesiaan yang berlandaskan pada kekuatan sumber daya manusia Indonesia dengan para periset Indonesia yang sangat canggih.
“Hal itu bisa menjadi persoalan sehingga timbul sebuah pertanyaan yang menggelitik. Ada apa di balik peleburan ini. Karena kenyataannya Badan Riset dan Inovasi Nasional bukan menjadikan riset dan inovasi semakin maju melainkan terjadi kemandekan-kemandekan riset di berbagai bidang lainnya. Maka pantas ada yang menduga ada kepentingan lain di balik konteks ini,” ungkapnya.
Bernuansa Politik
Agung menduga peleburan ini lebih kuat diwarnai kepentingan politik dibandingkan kepentingan teknokratik yang berdampak pada riset penting banyak terganggu. “Faktanya riset di LBM Eijkman terganggu,” tegasnya.
Ia memaparkan bahwa kisruh BRIN berawal dari keinginan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk mendesain lembaga yang dirancang sebagai payung semua kegiatan riset dan inovasi di negeri ini. Kemudian Fraksi PDIP aktif mengawal pengesahan UU No. II tahun 2019 tentang Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Peraturan inilah yang menjadi dasar pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Sayangnya peleburan BRIN ini bernuansa politik, dengan diangkatnya dewan pengarah BRIN, merupakan ex officioKetua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri. Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengakui bahwa masuknya dewan pengarah Megawati adalah demi kepentingan politik anggaran,” katanya.
Ia menilai, riset-riset berbasis inovasi ini sangat terkait dengan anggaran. Ketika anggaran tidak diperoleh dengan baik maka kerja sama dengan asing dibangun dengan baik ke depannya. Ketika kerja sama dengan pihak asing telah terbangun baik, maka pertanyaannya kemudian riset dan inovasi nasional akan mengarah pada kebijakan siapa? “Mengabdi kepada rakyat atau mengabdi pada kepentingan kapitalis” pungkasnya.[]Ageng Kartika