Tinta Media - Buku Kritik Terhadap Pemikiran Barat Kapitalis mengkritisi secara mendalam kerusakan sistem demokrasi serta memberikan solusi yang benar.
“Tidak seperti para ilmuwan Barat yang mengkritisi demokrasi tapi tidak memberikan solusi, buku ini mengkritisi demokrasi sekaligus memberikan solusi yang benar terkait dengan sistem pemerintahan,” tutur pakar pemerintahan Drs. Wahyudi M.Si. dalam acara menggugat Kapitalisme : Peluncuran Buku Kritik terhadap Pemikiran Barat Kapitalis, Sabtu (25/12/2021) via daring.
Sistem demokrasi bukanlah sistem baru, lanjut Wahyudi, gagasannya sudah mulai sejak 508 SM di Yunani. Didaur ulang dan dipublikasikan ulang, dijajakan ulang karena dianggap sebagai sistem terbaik. “Meski demikian sistem ini dikritik sendiri oleh para pemikir Barat. Sayangnya mereka sekedar mengkritik, tidak memberikan solusi alternatif,” tuturnya.
Kerusakan Demokrasi
Wahyudi menilai, praktek demokrasi secara faktual dan empiris banyak terjadi anomali dengan konsep pemikirannya. Ia memberikan beberapa catatan kritis tentang kerusakan sistem demokrasi ini.
Pertama, mitos kedaulatan rakyat. Konsep kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi hanyalah mitos. Faktanya, dalam sistem demokrasi rakyat hanya memilih orang-orang yang sudah diseleksi oleh para kapitalis yang berkelindan dengan para oligarki. “Mereka menentukan siapa yang hendak mereka angkat atau didudukkan sebagai penguasa, kemudian mereka meminta rakyat untuk memilih itu dan mengesahkannya. Sehingga rakyat sebenarnya hanya memilih apa yang sudah dipilihkan oleh para oligarki,” jelasnya.
“Slogan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, itu gombal saja,” katanya.
Menurutnya, tidak pernah ada dalam demokrasi, rakyat bisa menentukan, memilih, mengelola dan hasilnya kembali ke rakyat. “Fakta yang terjadi adalah dari oligarki, ole oligarki dan untuk oligarki. Ini menunjukkan bahwa demokrasi untuk kesejahteraan itu hanya ilusi,” tegasnya.
Kedua, mitos suara rakyat suara Tuhan. “Ini menggombali rakyat. Rakyat diberikan mimpi besar bahwa suara mereka sangat berharga. Tapi kenyataannya tidak demikian. Jangankan suara rakyat, suara Tuhan saja dipinggirkan oleh mereka. Perintah dalam kitab suci tidak didengarkan oleh mereka. Bahkan perintah Allah hanya bisa dilaksanakan jika mendapatkan izin dari mereka,” paparnya.
Fakta menunjukkan, lanjut Wahyudi, semua rakyat meminta agar RUU Omnibus Lueaw tidak disahkan, tapi tetap disahkan. “Ini menunjukkan bahwa dalam membuat UU jangankan suara rakyat, suara Tuhan pun tidak mereka dengar,” ungkapnya.
Ketiga, mitos kebebasan pendapat. “Kata mereka dalam demokrasi dijamin kebebasan berpendapat, faktanya, bebas berpendapat itu hanya untuk kalangan mereka yang pro terhadap demokrasi dan pandangan-pandangan sekuler mereka. Mereka bebas menyerang ajaran Islam,” jelasnya.
“Ini bisa kita uji. Jika kita bicara soal jihad, bicara soal khilafah, menjadi tidak bebas berpendapat, tapi justru mereka persoalkan. Jadi, bebas berpendapatnya itu versi mereka, tapi rakyat tidak akan bebas berpendapat kalau tidak sesuai dengan keinginan mereka,” tambahnya.
Keempat, mitos checks and balances. “Mereka mengklaim bahwa dalam demokrasi itu ada checks and balances, dari rakyat maupun dari partai. Mereka bisa mengontrol kekuasaan, bisa mengoreksi kekuasaan. Tapi faktanya tidak demikian,” ungkapnya.
“Kita berharap partai bisa mengontrol kekuasaan tapi hampir semua partai malah merapat pada kekuasaan dan dikasih jatah menteri, kasih jatah jabatan. Bahkan yang jadi rival saja sekarang bergabung dalam kekuasaan. Lalu dimana letak kontrol pada penguasa?” tanya Wahyudi.
Dalam kontek rakyat , lanjutnya, rakyat atau aktivis yang bicara kritis dibungkam, mahasiswa yang bicara agak vokal ditekan. “Kalau yang mau checks and balances itu ormas, ormasnya dibubarkan, dituding radikal, tokohnya dikriminalisasi. Jadi kontrol dari rakyat, partai, ormas, aktivis, LSM praktis tidak terjadi,” bebernya.
Kelima, menghitung kepala bukan isi kepala. Wahyudi menilai, demokrasi mengutamakan formalitas bukan kualitas. Hanya menghitung kepala bukan isinya. Maka dalam sistem demokrasi suara profesor sama dengan orang yang tidak sekolah, tetap sama-sama dihitung satu. Itu pun nanti hasilnya tidak tahu. Apakah tetap dipakai atau tidak, karena yang menentukan terakhir bukan pemilihnya. Yang menentukan siapa pemenang adalah penguasa itu sendiri. “Jadi kalau bapak ibu mencoblos ya hanya berkuasa di bilik suara itu saja. Setelah itu tidak berkuasa lagi. Hasilnya kita tidak tahu lagi, apakah pemenangnya yang betul-betul menang atau tidak karena yang menentukan pemenang bukan kita lagi,” paparnya.
“Inilah fakta kerusakan demokrasi yang tentu harus dicarikan solusinya,” tandasnya.
Solusi
Wahyudi menjelaskan bahwa sistem Islam meletakkan kedaulatan di tangan Allah SWT, Pencipta alam semesta. “Ini perbedaan yang sangat mendasar dengan sistem demokrasi,” ujarnya.
Dalam Islam, lanjutnya, rakyat diberi kekuasaan untuk memilih pemimpin yang akan menerapkan hukum Allah. “Dan sistem yang kompatible untuk menerapkan ini adalah sistem khilafah,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun