Tinta Media - Ditangkapnya pemuda yang membuang/menendang sesajen dengan Pasal 156 KUHP tentang Penghinaan Golongan menunjukkan ada masalah serius dalam melindungi akidah umat Islam dari kemusyrikan. Penerapan delik tersebut juga sekaligus menunjukkan pelaku sesajen itu sesama Muslim. Kalau pelaku pembuat sesajen itu non-Muslim tentu saja yang dikenakan adalah delik menista agama lain bukan menista antargolongan.
Kenapa dikatakan masalah serius? Karena dalam Islam memang haram hukumnya kaum Muslim membuat sesajen, perbuatan tersebut tergolong syirik (menyekutukan Allah), termasuk dosa besar yang tak pernah Allah ampuni kecuali pelakunya bertobat. Kaum Muslim yang ikut golongan mana pun atau ormas mana pun tetap haram melakukannya. Tak ada satu pun golongan/ormas Islam yang dikecualikan.
Nah, pemuda yang membuang/menendang sesajen itu hanyalah melakukan nahi mungkar dengan cara membuang/menendang sesajen tersebut. Kalau caranya dianggap salah, ya diperingatkan saja secara baik-baik bahwa caranya itu salah. Tak perlu sampai ditangkap dan ditahan seperti itu. Apalagi sampai dikenai delik menista golongan.
Golongan mana yang dinista? Memangnya itu pemuda menyebut golongan ketika membuang sesajen itu? Pemuda itu hanya fokus kepada aktivitas syirik yang terwujud dalam bentuk benda sesajen. Enggak menyinggung golongan/ormas Islam mana pun. Dan melakukannya juga kepada benda sesajennya aja. Bukan kepada sekumpulan orang dari golongan tertentu yang sedang sesajen. Bener enggak?
Kalau memang harus dianggap salah sehingga ditangkap dan ditahan seperti itu, semestinya negara ini juga memiliki regulasi dan menegakkannya dengan benar terkait adanya orang Islam yang melakukan sesajen.
Karena, sekali lagi, perbuatan syirik itu termasuk kriminal besar bahkan dari sekian banyak dosa besar, syirik merupakan dosa besar yang nomor satu. Tak ada dosa besar yang lebih besar lagi daripada syirik. Dosa dari kekeliruan melakukan nahi mungkar (bila membuang/menendang sesajen itu dianggap kekeliruan), tentu tidak ada apa-apanya dibanding dengan dosa syirik.
Bila tidak ada regulasi yang bisa menindak pelaku syirik tersebut tetapi malah pelaku nahi mungkarnya yang ditangkap dan ditahan dengan dalih menista golongan, berarti negara ini telah gagal dalam memberi perlindungan terhadap mayoritas rakyat Indonesia yang beragama Islam. Alih-alih melindungi umat Islam dari perbuatan syirik, eh malah seolah melindungi pelaku syirik dengan hanya menangkap pelaku nahi mungkar tetapi membiarkan pelaku syirik.
Selain sesajen, masih banyak bentuk-bentuk kesyirikan lainnya yang tampaknya dibiarkan oleh negara ini. Misalnya, memelihara jenglot eh spirit idol. Bisa dipidanakan enggak? Kalau enggak bisa, berarti hukum yang berlaku sekarang ini sangat lemah, tidak bisa menjerat Muslim yang melakukan tindakan kriminal-syirik.
Bentuk kesyirikan lainnya yang jauh lebih besar dampaknya adalah Muslim yang membuat hukum bersumber dari bukan Islam dan meyakininya itu sama baiknya bahkan lebih baik dari hukum Islam. Itu bisa dipolisikan enggak? Kalau enggak, berarti hukum yang berlaku sekarang ini sangat lemah, tidak bisa menjerat Muslim yang melakukan tindakan kriminal-syirik.
Lantas, untuk apa negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini mempertahankan hukum yang tak bisa menjaga Muslim dari tindak kriminal-syirik? Agar semakin banyak orang Islam menjadi musyrik? Naudzubillahi min dzalik!
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah [5]: 50).[]
Depok, 13 Jumadil Akhir 1443 H | 15 Januari 2022 M
Oleh: Joko Prasetyo
Jurnalis