Tinta Media - Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti akhirnya selesai diperiksa oleh penyidik Polda Metro Jaya dan masih berstatus sebagai saksi. Sebelumnya, keduanya dikabarkan akan dijemput paksa oleh penyidik. (18/1).
Haris Azhar sendiri mengaku heran dengan upaya penjemputan paksa yang dilakukan penyidik. Sebab, saat tidak terjadi pemeriksaan atas dirinya, Haris mengaku telah menyampaikan surat permohonan penundaan kepada penyidik.
Dalam kasus ini, *pelapor yakni Menko Marives Luhut Binsar Panjaitan juga pernah tak dapat menghadiri panggilan penyidik karena ada kegiatan di luar negeri.* Akhirnya, mediasi juga batal dilakukan.
Itu artinya, batalnya mediasi karena adanya alasan tertentu adalah hal yang wajar. Mediasi gagal bukan saja sebab Haris dan fatia yang ada udzur, melainkan Menko Marives juga tak dapat hadir karena di luar negeri.
Pemanggilan terhadap Haris dan Fathia, konteksnya juga baru sebatas klarifikasi dan untuk bermediasi. Bukan sebagai saksi, apalagi tersangka. Sehingga, sangat berlebihan penyidik mencoba menggunakan upaya paksa menggunakan dalih pasal 112 ayat 2 KUHAP.
Mediasi itu sendiri, merupakan rangkaian proses penanganan perkara ITE berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif yang diteken Kapolri pada 19 Februari 2021.
Dalam SE ini ada tiga substansial penting proses penyelidikan perkara ITE yang wajib diperhatikan penyidik :
*Pertama,* penanganan perkara ITE harus mengedepankan penyelesaian dengan pendekatan restoratif justice.
*Kedua,* dalam perkara ITE pelapornya harus dilaporkan oleh korban secara langsung.
*Ketiga,* wajib dilakukan mediasi antara Pelapor dan Terlapor.
Karena itu, aneh sekali rencana upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik Polda Metro Jaya terhadap Haris dan Fathia dalam konteks memediasi. Sangat berlebihan pula, karena proses tersebut berdasarkan Surat Edaran Kapolri No. SE/2/II/2021 semestinya ditangani dengan pendekatan keadilan restorasi, bukan represifme aparat menggunakan dalih kewenangannya berdasarkan KUHAP.
Karena itu, patut diduga ada intervensi kekuasaan dalam perkara ini hingga penyidik nyaris saja menggunakan kewenangannya untuk melakukan upaya paksa. Intervensi itu hanya bisa dilakukan oleh otoritas yang memiliki kewenangan dan kemampuan. Dan Luhut Panjaitan sebagai Menko Marives sangat mampu melakukannya jika menghendaki.
Kasus ini masih berlarut-larut. Kasus ini bermula dari konten YouTube yang diisi Haris Azhar dan Fatiya dengan judul "Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya" di channel YouTube Haris Azhar. Dalam video ini disebutkan bahwa adanya temuan dari gabungan organisasi masyarakat terkait bisnis petinggi atau purnawirawan TNI AD di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Di dalam video tersebut, Fatia berujar bahwa perusahaan PT Tobacom Del Mandiri terlibat dalam bisnis tambang di Blok Wabu. PT Tobacom Del Mandiri menurutnya anak perusahaan dari PT Toba Sejahtera Group yang sahamnya dimiliki Luhut.
Selanjutnya, Luhut melaporkan Haris dan Fathia dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik dan pasal 14 ayat 1 dan 2 KUHP (UU No. 1/1946) terkait tuduhan menyebar kebohongan yang menerbitkan keonaran. [].
.
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum KPAU
Follow Us Ahmad Khozinudin Channel
https://heylink.me/AK_Channel/