Tinta Media — Straight views merupakan salah satu jenis tulisan opini yang secara langsung (straight) menunjukkan sikap penulis (views) atas suatu fakta/peristiwa/informasi. Sangat cocok digunakan untuk dakwah khususnya dalam perang pemikiran. Karena alurnya pas banget dalam mematahkan pemikiran kufur sekaligus menjelaskan pemikiran Islam secara vis a vis dan beruntun. Kalau diumpamakan dengan film (movie), SV itu mungkin termasuk thriller, bukan action atau drama.
Sebelum dilanjutkan, saya sedikit menerawang ke benak pembaca dulu ya. Sebagian pembaca mestilah menganggap judulnya keliru dan mengira seharusnya ditulis straight news (berita lugas/SN). Bener enggak? Judul di atas enggak keliru kok, itu memang straight views (opini langsung/SV). Namanya memang baru dibikin tetapi praktik penulisan ini sudah saya lakukan dalam beberapa tahun terakhir.
Yuk kita lanjutkan lagi. Meski namanya straight views, cara menulisnya sangat berbeda dengan straight news. Agar terbayang jelas perbedaannya antara straight views dengan opini lainnya dan juga perbedaannya dengan straight news, berikut beberapa poin penjelasannya.
Pertama, tergolong views, bukan news. Karena SV merupakan sikap penulis terhadap suatu fakta, maka SV tergolong views bukan news (rekonstruksi suatu kejadian yang langsung pada pokok permasalahan).
Kedua, sikap penulis langsung terlihat pada kalimat awal di awal paragraf. Berbeda dengan penulisan opini yang biasanya di awal paragraf pertama itu baru memaparkan fakta yang akan dikritisi (pola: fakta, bahasan, simpulan), SV itu langsung (straight) masuk pada sikap/pandangan si penulis (views) alias langsung pada bahasan fakta.
Ketiga, menggunakan sudut pandang orang pertama. Berbeda dengan SN yang menggunakan sudut pandang orang ketiga (narasumber/nama orang yang diberitakan), SV itu menggunakan sudut pandang orang pertama (saya/penulis).
Keempat, semua bagian anatomi SV sama pentingnya. Berbeda dengan SN yang paragraf paling pentingnya hanya di paragraf pertama, semua hal penting bertaburan dalam seluruh anatomi SV.
Kelima, tidak mengulang fakta yang dibahas. Berbeda dengan pola tulisan opini (yang secara umum berpola: fakta; bahasan; simpulan) yang mau tidak mau mestilah menyinggung ulang fakta yang sudah ditulis di paragraf-paragraf awal ketika masuk ke paragraf-paragraf bahasan, SV tidak menyinggung fakta yang sama dua kali karena langsung pada bahasan.
Keenam, langsung dibahas, setiap fakta yang diungkap langsung dibahas dan disikapi. Bila ada tiga poin yang akan dikritisi maka setiap poin yang muncul langsung dibahas dan disikapi. Jadi, tidak menuliskan ketiga poin terlebih dahulu di awal-awal paragraf, lalu baru dibahas satu per satu di paragraf-paragraf bahasan. Karena, sekali lagi, ini adalah SV, ---bukan opini yang menggunakan pola: fakta, bahasan, simpulan--- maka langsung saja bahasan.
Ketujuh, ada banyak jenis penulisan SV. Tiga di antaranya adalah (1) jenis penyikapan terhadap suatu pernyataan (lihat contoh SV 1 yang menyikapi pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam SV yang berjudul ‘Saya Setuju dengan Pak Wapres’); (2) jenis penyikapan terhadap pernyataan sekaligus rekam jejak (lihat contoh SV 2 yang menyikapi pernyataan sekaligus rekam jejak Menko Polhukam saat itu Wiranto dalam SV yang berjudul ‘Surat Terbuka untuk Pak Wiranto’); dan (3) jenis mengkritisi pengaburan dan penguburan sejarah (lihat contoh SV 3 yang menyikapi peristiwa sejarah 22 Oktober 1945 yang ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional yang berjudul ‘Hari Santri, Upaya Pengaburan Sejarah untuk Kepentingan Sejarah?).
Rasakan bedanya tulisan SV ini dengan opini pada umumnya dan juga bedanya dengan SN. Bila sudah paham silakan praktikan dan ajarkan lagi kepada siapa saja yang ingin berdakwah dengan uslub menulis SV. Semoga menjadi amal jariah kita bersama. Aamiin.
Depok, 1 Jumadil Awal 1443 H | 5 Desember 2021 M
Joko Prasetyo
Jurnalis
****
Salah satu contoh SV jenis penyikapan terhadap suatu pernyataan:
SAYA SEPAKAT DENGAN PAK WAPRES
Ya, saya sepakat dengan Pak Wapres bahwa “Khilafah Bukan Tidak Islami tapi Menyalahi NKRI”, meskipun dari sudut pandang Islam, kalimat yang lebih pasnya adalah “NKRI tidak islami karena menyalahi Islam dan yang islami itu khilafah karena sesuai dengan Islam”. Karena patokan itu harus dari standar yang benar, standar yang benar itu ya Islam. Menurut Islam ya khilafah yang islami dan NKRI yang tidak islami.
Saya sepakat khilafah “bukan tidak islami” karena memang khilafah adalah sistem pemerintahan Islam warisan Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin (para khalifah yang diberi petunjuk: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Mereka adalah teladan yang dijamin masuk surga. Itu artinya khilafah islami.
Dikatakan islami karena alasan berdirinya berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma Shahabat dan Qiyas syar’i.
Dikatakan islami karena di dalam negeri, khilafah menerapkan syariat Islam secara kaffah. Sedangkan politik luar negerinya diasaskan pada dakwah dan jihad.
“Tapi menyalahi NKRI”. Artinya apa? NKRI itu tidak islami? Apakah begitu Pak Wapres? Kalau memang maknanya itu, saya sepakat juga dengan Anda. Ketidakislamian Negara Kesatuan Republik Indonesia itu terwakili oleh kata “Republik”.
Republik adalah sistem pemerintahan warisan Cleisthenes, Montesquieu, JJ Rosso dan John Locke. Mereka orang-orang kafir yang pasti masuk neraka. Jadi di sebelah mana islaminya?
Republik adalah pemerintahan dari rakyat (bukan bangsawan Eropa, bukan pula khilafah/Islam). Melalui metode demokrasi, republik di NKRI ditegakkan.
Demokrasi juga tidak islami. Letak ketidakislamian demokrasi yang paling fatal adalah manusia diberi kewenangan membuat hukum, padahal yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT. Berarti republik/demokrasi tidak islami.
Dikatakan tidak islami karena, awalnya hanya pemerintahan yang didirikan Cleisthenes yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan wahyu Allah SWT.
Berikutnya, alasan berdirinya republik/demokrasi untuk menentang berbagai kerajaan bangsawaan/gerejawan Eropa.
Sedangkan di Nusantara dan negeri-negeri Muslim bekas khilafah lainnya, penerapan demokrasi adalah cara kafir penjajah untuk menjauhkan kaum Muslim dari khilafah, sehingga dapat terus dijajah dengan penjajahan gaya barunya.
Dalam sistem khilafah, khalifah (kepala negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam/khilafah) bertugas menerapkan perintah Allah SWT dan memastikan larangan Allah SWT ditinggalkan.
Jadi, untuk menerapkan perintah Allah, khalifah tidak perlu meminta persetujuan suara terbanyak anggota Majelis Ummat (wakil rakyat dalam sistem pemerintahan Khilafah). Karena fungsi Majelis Ummat bukan untuk membuat hukum tetapi untuk mengoreksi penguasa agar tetap sesuai dengan perintah Allah SWT. Adapun anggota Majelis Ummat yang non Muslim tugasnya adalah melaporkan kedzaliman para penguasa daerah kepada khalifah.
Sedangkan dalam sistem demokrasi, presiden/perdana menteri (kepala negara yang menerapkan sistem pemerintahan kufur buatan orang kafir) bertugas menerapkan aturan yang disepakati oleh parlemen/DPR. Perintah Allah SWT baru bisa diterapkan presiden bila mayoritas anggota DPR setuju.
Artinya apa? Dalam sistem demokrasi kedudukan Allah SWT berada di bawah telapak kaki para anggota parlemen/DPR. Innalillahi wa inna ilahi rajiuun…. Apakah kita lupa menyejajarkan kedudukan Allah SWT dengan makhluk atau dengan khayalan saja sudah disebut syirik, pelakunya disebut musyrik. Bagaimana pula kedaulatan Allah SWT bukan lagi disejajarkan tetapi ditaruh di bawah telapak kaki para anggota parlemen!? Naudzubillahi min dzalik!
Saya juga sepakat dengan pernyataan Pak Wapres "Jadi sebenarnya tidak perlu apa mententeng menceceng, gitu. Seperti mau perang Brata Yudha." Karena memang metode menegakkan negara Islam/khilafah seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah dengan berdakwah, bukan dengan mententeng menceceng ataupun angkat senjata seperti mau perang fisik.
Sebaliknya, Pak Wapres dan jajaran Rezim Jokowi pun tak boleh mengkriminalisai dakwah penerapan syariat Islam secara kaffah, selama Anda dan Rezim Jokowi masih meyakini Pancasila sebagai falsafah/dasar negara/ideologi atau apalah sebutan yang Anda suka, karena dalam kacamata Pancasila, dakwah tersebut sangat sesuai dengan Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bukankah mendakwahkan kewajiban menegakkan khilafah itu adalah untuk menegakkan aturan dari Tuhan Yang Maha Esa? Percaya Tuhan Yang Maha Esa hanyalah omong kosong belaka bila menolak bahkan mengkriminalisasi orang-orang yang mendakwahkan aturan dari Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, kalau mengkriminalisasi, itu namanya mententeng menceceng ngajak perang Brata Yudha.
Oleh karena itu, berdakwahlah terus hingga muncul kesepekatan baru untuk menegakkan khilafah.
Allahu Akbar!
Depok, 11 Rabiul Akhir 1440 H | 10 November 2019 M
Joko Prasetyo
Jurnalis
****
Salah satu contoh SV jenis penyikapan terhadap pernyataan sekaligus rekam jejak.
SURAT TERBUKA UNTUK PAK WIRANTO
Subhanallah Pak Wir, sudah tua bukannya tobat, Anda malah kembali sesumbar bahwa pemerintah kini tengah menggodok aturan untuk melarang individu mendakwahkan kewajiban menegakkan khilafah.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun…
Rupanya Anda dan rezim diktator ini tak merasa cukup mencabut badan hukum perkumpulan (BHP) ormas yang getol mendakwahkan kewajiban menegakkan khilafah, Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI saja, tetapi kini berupaya menyasar setiap individu yang mendakwahkan khilafah ajaran Islam.
Anda mengkriminalisasi HTI dan individu yang mendakwahkan khilafah karena khilafah menurut Anda dianggap bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.
Aih, rupanya Pak Wir lupa ya… siapa sebenarnya yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI? Pak Wir ketika menjadi Panglima ABRI atau HTI yang ingin menjaga keutuhan wilayah negeri ini?
Dengar baik-baik Pak Wir, justru demokrasilah yang secara nyata bertentangan dengan Pancasila dan memberikan legitimasi bagi pemecahbelahan negeri kita tercinta ini.
Hmmm… mari kita pakai contoh dari sila yang paling dekat dengan Anda sebagai Menkopolhukam saat ini atau sebagai Panglima ABRI 20 tahun lalu yakni Sila Ketiga: Persatuan Indonesia.
Demokrasi tidak menjamin wilayah kita tetap utuh dari Sabang sampai Merauke (bila mengikuti terbit matahari mestinya dari Merauke sampai Sabang Pak, eh kok jadi bahas ini he… he…). Karena dalam demokrasi ada yang disebut dengan RE-FE-REN-DUM!.
Timor Timur (sekarang Negara Timor Leste) lepas karena apa Pak Wir? Referendum kan? Terlepas adanya kecurangan yang dilakukan UNAMET (semacam KPU-lah), diumumkan mayoritas rakyat Timor Timur ingin lepas dari Indonesia. Dan Timtim pun lepas begitu saja! Benar enggak?
Sedangkan khilafah, tak mengenal istilah referendum Pak! Jadi meskipun di satu wilayahnya ada mayoritas rakyat ingin memisahkan diri (alias BU-GHAT) tidak boleh dibiarkan lepas. Karena dalam Islam, bughat alias melepaskan diri dari negara khilafah atau dari kesatuan negeri-negeri Islam hukumnya: HA-RAM!
Khalifah wajib memerangi mereka yang angkat senjata sampai tidak memiliki kemampuan untuk melawan dengan senjata lagi. Bila tidak angkat senjata, hanya protes-protes keras saja gitu, ya cukup diajak dialog dicari akar masalahnya dan diberikan solusinya. Karena biasanya daerah yang ingin lepas lantaran merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat. Bukan begitu Pak?
Mari kita refleksikan ke kasus Timor Timur. Bila pakai khilafah, Khalifah eh maksudnya Presiden BJ Habibie (almarhum, semoga Allah mengampuni segala kesalahannya dan menerima amal baiknya. Aamiin.) dikatakan telah melakukan tindakan inkonstitusional ketika menyetujui dilakukannya referendum.
Dan semestinya, Amirul Jihad, hmm maksudnya, Panglima ABRI saat itu yakni Jenderal Wiranto, Anda Pak Wir! Orang pertama yang mencegah Pak Habibie memutuskan tindakan yang akan memecah belah negeri Islam terbesar sedunia ini. Tapi, berdasarkan demokrasi, Anda justru dianggap inkonstitusional bila menghalangi Pak Habibie melaksanakan referendum. Dan terbukti kan sekarang almarhum digelari sebagai Bapak Demokrasi?
Dari contoh ini saja, semestinya bisa membuat Anda sadar Pak Wir! Sistem pemerintahan demokrasilah yang mengancam negeri ini, bukan khilafah. Perlu contoh untuk sila yang lain? Dalam kesempatan ini, cukup itu dulu saja ya…
Oh iya, biar tidak terlalu memalukan, saya ingatkan Anda Pak, khilafah itu bukan ideologi, tetapi ajaran Islam di bidang pemerintahan.
Yang layak disebut ideologi bukan khilafah-nya tetapi Islamnya. Sebagaimana ideologi kapitalisme yang berakidah sekuler memancarkan sistem pemerintahan demokrasi, ideologi Islam yang berakidah tauhid memancarkan sistem pemerintahan khilafah.
Jadi, ketika khilafah tegak, insya Allah semua sila dalam Pancasila akan tegak. Sebaliknya, dengan demokrasi tegaknya Pancasila jauh panggang dari api seperti yang sekarang ini terjadi.
Dan satu hal lagi yang harus Anda ingat sebagai seorang Muslim sejati:
Sebagaimana shalat adalah ajaran Islam di bidang ibadah mahdhan yang Allah wajibkan, khilafah adalah ajaran Islam di bidang pemerintahan yang Allah wajibkan. Dan bila Allah telah mewajibkan, maka….
Meski seluruh SETAN berkumpul membuat aturan pelarangan penegakkan shalat, shalat tetap WAJIB ditegakkan.
Begitu juga dengan khilafah. Meskipun seluruh SETAN dari kalangan jin dan manusia bersekongkol melarang khilafah, khilafah tetap WAJIB ditegakkan
Allahu Akbar!
Depok, 13 Muharram 1441 H | 13 September 2019
Joko Prasetyo
Jurnalis
****
Salah satu contoh SV jenis menyikapan terhadap pengaburan dan penguburan sejarah:
HARI SANTRI, UPAYA PENGABURAN SEJARAH UNTUK KEPENTINGAN PENJAJAH?
Kalau mau jujur, tanggal 22 Oktober itu lebih tepat disebut sebagai Hari Resolusi Jihad bukan Hari Santri. Karena pada tanggal tersebut di tahun 1945, KH Hasyim Asy\"ari menyerukan jihad untuk mengantisipasi kedatangan pasukan Sekutu (yang dipimpin Inggris) dan Belanda.
Sehingga ketika para kafir penjajah tersebut kembali datang, rakyat yang dipimpin ulama dan santri langsung menyambutnya dengan pekikkan takbir dan acungan senjata. Dan pecah perang besarlah antara kaum Muslim versus penjajah yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya.
Itulah alasannya mengapa pada 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Mengapa ada Hari Pahlawan? Karena ada jihad melawan kafir penjajah. Mengapa ada jihad melawan kafir penjajah? Karena ada Resolusi Jihad 22 Oktober.
Spesifik dan sangat nyambung dengan Hari Pahlawan kan? Sedangkan Hari Santri itu terlalu umum, meskipun yang menjadi tulang punggung memobilisasi massa untuk berjihad adalah para santri.
Kalau mau keukeuh dengan istilah Hari Santri, ya semestinya 10 November juga disebut sebagai Hari Santri dong jangan sebagai Hari Pahlawan. Benar enggak? Karena memang tulang punggung dalam memobilisasi Resolusi Jihad (22 Oktober) dan Perang Surabaya (10 November) adalah para santri. Mengapa 10 November dijadikan Hari Pahlawan bukan Hari Santri juga? Hayoh.
Sejatinya kaum Muslim yang sami\"na wa atha\"na atas seruan jihad ulama tersebut untuk melawan kafir penjajah bukan saja sebagai pahalawan (orang yang berpahala banyak), lebih dari itu mereka adalah para syuhada yang langsung dijamin masuk surga tanpa hisab. Aamiin.
Refleksi untuk kita di masa sekarang, maka jadikanlah spirit Resolusi Jihad ini untuk semakin semangat melawan penjajahan masa kini yang dilakukan secara non militer oleh Amerika Serikat dan Negara Cina. Bukan malah menjadi anteknya agar disebut sebagai moderat dan tidak radikal.
Sayangnya, Hari Santri yang dirayakan hari ini tidak dikaitkan sama sekali dengan semangat melawan penjajahan. Apalagi sejak sebelum Hari Santri ditetapkan, upaya memoderasi santri untuk lunak pada penjajahan telah intensif diupayakan.
Lebih celakanya lagi, upaya melunakan para santri kepada kafir penjajah dilakukan semakin sistematis dan struktural melalui UU Pesantren 2019. Walhasil, merayakan Hari Santri saat ini spiritnya bertentangan 180 derajat dengan Resolusi Jihad.
Dari gejala yang ada, tampak sekali ada upaya pengaburan sejarah seruan jihad dengan istilah Hari Santri untuk kemudian dibelokkan ke makna yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan semangat jihad melawan penjajahan. Sehingga patut dicurigai, Hari Santri merupakan upaya pengaburan sejarah untuk melindungi kepentingan penjajah.[]
Depok, 15 Rabiul Awal 1443 H | 22 Oktober 2021 M
Joko Prasetyo
Jurnalis