Seksualitas Digital - Tinta Media

Selasa, 14 Desember 2021

Seksualitas Digital


Tinta Media — Simulasi adalah tiruan sebuah realitas yang bisa diputar berulang kali sesuai dengan kebutuhan. Sebenarnya, simulasi dibutuhkan dalam kehidupan untuk mengurangi kerugian, dalam kondisi yang tidak menguntungkan, serta meningkatkan efisiensi produksi di berbagai bidang. Namun, semua tentu ada kebaikan dan keburukannya.

Saat ini, semua hal bisa direka ulang dengan alasan ekonomi, termasuk kejadian, pengalaman, pemikiran dan perasan yang pernah tercipta bisa dipanggil ulang dengan sebuah trigger yang tepat dan bisa direncanakan. 

Gambar, film, dan game juga merupakan simulasi yang bisa dengan mudah diakses untuk mengetahui pengalaman dan perasaan yang pernah dilakukan seseorang secara empiris, bahkan termasuk hal yang terkait dengan kehidupan seksualnya.

Konten pornografi misalnya, bahkan bisa membuat anak-anak mampu "mencuri" kejadian yang sebenarnya belum bisa mereka akses sebelum pernikahan. Ini didapat tanpa bimbingan agama yang memiliki standar kebenaran. Bisa kita bayangkan, betapa besar kerusakannya.

Game yang memuat seksualitas digital juga sangat mudah untuk didapatkan, dimainkan, bahkan dengan citra yang sangat menyerupai kenyataan. Itu semua adalah reka ulang seksualitas yang didapat dari dunia digital. Sungguh sebuah kondisi yang harus sangat kita perhatikan.

Mari kita bayangkan, kondisi kejiwaan orang yang sedari kecil sudah kecanduan konten tersebut. Ketika semua adegan seksual sudah sering mereka reka ulang, bahkan jika sebagian besar sudah mereka hafal sensasinya di masa jiwa kanak-kanak mereka masih sangat rawan, lalu setelah mereka dewasa, spontanitas dan keaslian apa yang masih tersisa? 

Ini adalah kondisi yang sangat menakutkan, di mana kreativitas dan produktivitas kebersamaan serta kehangatan komunikasi sudah menuju kepada kematian. Ini terjadi jika nilai-nilai kekeluargaan, etika, dan moral saat berhubungan dengan muatan spiritual dalam aktivitas seksual hilang dan digantikan dengan gerak monoton yang membosankan. Utopia yang tadinya indah berubah menjadi distopia yang mengerikan.

Anak-anak yang sudah terjebak di dalam hiperrealitas, tidak bisa membedakan mana dunia nyata dan mana dunia virtual mereka. Hal tersebut membuat mereka tidak mampu menimbang mana yang benar dan mana yang salah menurut aturan formal kehidupan. Pelanggaran syariat pergaulan di dunia nyata bisa saja dianggap sebagai hal yang sepele konsekuensinya. Toh dalam dunia virtual semuanya bisa di-adjust dan di-cheat semaunya.

Itulah salah satu dampak yang membuat kita harus sangat mewaspadai konten seksualitas digital pada anak-anak kita, terutama bagi anak-anak yang sangat akrab dengan gadget dan jaringan dunia maya. 

Menjalin komunikasi dengan mereka jauh lebih sulit dibandingkan dengan anak-anak yang lebih banyak beraktivitas fisik dan jauh dari pengaruh relativitas dunia simulacra.

Oleh karena itu, menjadi tantangan buat kita sebagai orang tua untuk menjalin komunikasi efektif dengan ananda demi terciptanya keluarga yang menjadi benteng utama pertahanan umat Islam, serta sekolah paling awal bagi para penggenggam peradaban di masa depan.[]



Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :