RUU TPKS, Benarkah Mampu Memberikan Solusi? - Tinta Media

Senin, 20 Desember 2021

RUU TPKS, Benarkah Mampu Memberikan Solusi?


Tinta Media — Dunia pesantren kembali tercoreng. Harapan orang tua untuk mendapatkan pendidikan agama yang layak di pondok pesantren, kini menjadi momok yang menakutkan. Pasalnya, dari beberapa kasus pelecehan seksual yang terjadi akhir-akhir ini, pelakunya adalah seorang guru di pondok pesantren. 

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni mengaku geram dengan pemerkosaan yang dilakuan oleh seorang guru di Bandung bernama Herry Wirawan terhadap belasan orang santrinya. Dari kejadian bejat yang berlangsung sejak 2016 itu, telah lahir 9 anak dan dua orang santri lainnya tengah mengandung. (SINDONEWS.com, 10/12/2021)

Kasus di atas sejatinya telah lama terjadi, bahkan pelaku sendiri telah ditahan. Karena itu, banyak pihak mencium aroma viralnya kasus ini di media sebagai upaya penggiringan opini menjelang disahkannya RUU TPKS (Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). RUU ini diklaim pemerintah akan menjadi payung hukum bagi kasus pelecehan seksual di negeri ini. 

Padahal, sejak lama RUU tersebut telah menuai kontroversi. RUU TPKS yang terkait dengan Permendikbudristek No.30 Tahun 2021, masih menggunakan paradigma sexual consent dan relasi gender. Dalam paradigma itu, yang dipersoalkan dalam kasus seksual hanyalah yang dilakukan dengan tanpa persetujuan para pelaku. Jika dilakukanel suka sama suka, maka tidak perlu dipersoalkan.

Dalam norma agama dan sosial yang berlaku di negeri ini, kasus seksual yang dilakukan suka sama suka termasuk ke dalam perzinaan dan hukumnya adalah haram, sebab perzinaan merupakan gerbang pintu kehancuran sebuah generasi.

RUU TPKS ini jelas memiliki paradigma liberal dan menawarkan penyelesaian ala feminis yang telah terbukti gagal dalam menyelesaikan masalah kekerasan seksual. Hal ini terlihat dari kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia yang semakin bertambah setiap tahunnya.

Saat ini, yang menjadi pendorong terbesar kekerasan seksual adalah akses internet dan media sosial. Ditambah lagi dengan lemahnya benteng iman. Di media sosial ataupun internet, tidak ada filter dari pemerintah akan tayangan-tayangan yang berbau pornongrafi dan porno aksi, sehingga tidak heran jika kekerasan seksual terus berulang, bahkan oleh oknum pendidik sekalipun.

Hal tersebut didukung dengan menjamurnya gaya hidup yang penuh kebebasan, sehingga jauh dari syariat. Muda mudi berduaan atau menjalani hubungan tanpa status pernikahan, sementara kewajiban menutup aurat telah lama diabaikan. 

Semuanya terjadi karena bercokolnya sistem kapitalisme liberal yang menjadi sponsor utama bagi gaya hidup serba bebas, sehingga menjadi pendorong merebaknya kasus kekerasan seksual.

Dalam hal ini, hanya Islam yang mampu memberantas kejahatan kekerasan seksual, sebab hukum yang berlaku dalam sistem Islam bagi pelaku kekerasan seksual, akan menjadikan pelaku jera. Tidak hanya bagi pelaku saja, bahkan siapa pun akan berpikir ulang untuk melakukan perbuatan bejat tersebut.

Dalam kasus kejahatan seksual yang dialami oleh belasan santriwati di Bandung, Islam memandang bahwa hal tersebut sudah tergolong pada perzinaan. Sanksi zina secara tegas diatur dalam nash syara. Hukuman rajam diberlakukan jika status pelaku sudah menikah dan dihukum cambuk bagi yang belum menikah.

Hukuman tersebut mengacu pada dalil, Allah Swt. berfirman yang artinya:

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman." (Q.S. An Nur: 2).

Perzinaan merupakan perbuatan yang dihinakan dalam Islam. Dalam dalil tersebut, jelas jika menaruh rasa belas kasihan pun tidak diperbolehkan. Penerapan sanski zina seperti di atas hanya bisa terlaksana pada institusi khilafah yang pada saat bersamaan menerapkan sistem Islam secara kaffah. 

Khilafah akan menjamin terwujudnya kehidupan yang nyaman, penuh dengan suasana keimanan. Pergaulan laki laki dan perempuan diatur dengan sistem pergaulan yang khas. Inilah solusi konkret yang dibutuhkan untuk memberantas kasus kejahatan kekerasan seksual. Wallahu alam Bishshawab.

Oleh: Yulia Putbuha





Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :