Prof. Suteki Ungkap Kontroversi Permendikbudristek 30/2021 - Tinta Media

Rabu, 08 Desember 2021

Prof. Suteki Ungkap Kontroversi Permendikbudristek 30/2021


Tinta Media — Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki S.H., M.Hum. mengungkap kontroversi Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 yang rawan menimbulkan polemik.

"Kontroversi (Permendikbudristek 30/2021) yang tadi disebutkan sehingga menimbulkan polemik, memang bukan tanpa alasan. Karena ada beberapa pasal yang patut kita perhatikan," ungkapnya dalam _Forum Ijtimak Ulama, Tokoh dan Advokat Gresik Tolak Permendikbudristek 30/2021_, Sabtu (4/12/2021) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.

Pertama, pasal 1 angka 1 tentang definisi kekerasan seksual. Kedua, pasal 3 mengenai nilai-nilai yang tidak dijadikan dasar untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. “Ketiga, mengenai rumusan pasal-pasalnya,” ujarnya.

Di pasal 1 angka 1, kata Prof. Suteki, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan menghina melecehkan dan atau menyerang tubuh dan atau fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa dan atau gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

“Dalam hal ini yang dipersoalkan adalah frase ketimpangan relasi kuasa dalam pasal dan butir ini dinilai mengandung pandangan yang menyederhanakan masalah pada satu faktor saja," jelasnya.

"Seolah-olah faktor relasi kuasa itu atas bawah atau hanya terkait dengan persoalan gender. Itu lebih cenderung menempatkan wanita dalam posisi yang lemah," imbuhnya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan kritik pasal 3. "Bunyinya begini, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dilaksanakan dengan prinsip, prinsip kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan akses stabilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas independen, kehati-hatian dan konsisten serta jaminan ketidakberulangan," tuturnya.

"Ini kalau kita perhatikan, kenapa kok tidak ada dasar nilai-nilai agama. Padahal kita tahu sistem pendidikan nasional kita termasuk juga nanti pendidikan di perguruan tinggi itu selalu diinginkan munculnya anak didik atau peserta didik yang beriman dan bertakwa," tambahnya.

"Kemudian yang juga menjadi sangat heboh adalah pasal 5 ayat 2, khususnya mengenai apa saja yang termasuk yang disebut dengan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Contoh memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban," bebernya.

Prof. Suteki juga menjabarkan, mengenai frase tanpa persetujuan korban ternyata banyak yang menafsirkan terbalik.

"Contoh itu tadi, memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban, terus ada yang memaknai, berarti kalau dengan persetujuan korban atau saling memperlihatkan gitu berarti nggak apa-apa, dong," jelasnya.

"Bagi saya sebagai orang hukum, saya mengatakan Permen ini memang rawan untuk ditafsirkan sebaliknya," ucapnya.

Oleh karena itu, menurutnya, permen ini harus ditunda pelaksanaannya. “Kalau perlu dibatalkan, dan kemudian kalau tetap mau dipakai harus dilakukan revisi," pungkasnya. [] Ana Mujianah


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :