Permendikbud No 30/21 Penting untuk Dikritisi bahkan Ditolak - Tinta Media

Minggu, 12 Desember 2021

Permendikbud No 30/21 Penting untuk Dikritisi bahkan Ditolak


Tinta Media — Terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 dinilai Jurnalis Joko Prasetyo penting untuk dikritisi bahkan ditolak.

“Permendikbud tersebut penting untuk dikritisi bahkan ditolak,” tuturnya dalam Kajian Bincang Media Umat edisi ke-30: Permendikbud No.30/21, Legalisasi Seks Bebas? Rabu (08/12/2021) di kanal YouTube Follback Dakwah.

Menurut Om Joy, sapaan akrabnya, karena banyak pihak terutama komunitas Islam dan Ormas Islam yang mensinyalir ada upaya legalisasi zina atau paling tidak pembiaran zina. “Meski Mendikbud berkilah tidak ada legalisasi zina, namun siapapun yang mencermati teks peraturan yang ada, secara tersirat menunjukkan adanya legalisasi zina,” ujarnya.

Ia mengatakan, diantara teks peraturan tersebut antara lain pasal 5 ayat 2(b) yakni memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban, (f). Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. (g) mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. (h) menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. (j). Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban. (l). Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan korban. (m) membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.

“Frasa tanpa persetujuan korban ini bisa dimaknai jika atas persetujuan korban maka menjadi boleh atau legal,” tegasnya.

*Tidak Menyelesaikan Masalah*

Om Joy  menuturkan,  munculnya Permendikbud ini mengkonfirmasi bahwa kekerasan seksual di kampus semakin marak. “Namun demikian peraturan ini diduga  tidak akan pernah bisa menjadi solusi bagi maraknya kekerasan seksual,” ujarnya.

Menurutnya, setidaknya ada beberapa alasan, antara lain. Pertama, Kesalahan paradigma. Paradigmanya menggunakan paradigma Barat yang dikeluarkan oleh PBB dan diratifikasi Indonesia. Muatan itu tampak dalam konsideran ‘mengingat’  yang  CEDAW dan HAM sebagai landasan. “Jadi, paradigmanya adalah sekularisme, HAM dan Liberalisme, bukan agama,” katanya.

Ia mengatakan, Amerika dan negara-negara Eropa telah meratifikasi lebih dulu terkait Undang-undang pencegahan kekerasan seksual. Faktanya berdasarkan berbagai penelitian, Amerika menjadi negara terbesar ketiga se-dunia terjadinya kekerasan seksual. “Dari sepuluh negara besar dunia, negara-negara Eropa masuk dalam 10 besar terkait dengan pelecehan seksual, pemerkosaan dan lain-lain,” ungkapnya.

Kedua, tidak memahami hakikat manusia. “Aturan yang berlaku di Amerika maupun Eropa adalah aturan untuk mengatur manusia yang memiliki gharizah nau’ (naluri melestarikan keturunan). Allah SWT saat menciptakan manusia dilengkapi dengan alat reproduksi. Tujuannya untuk melestarikan jenis manusia. Ada yang bertugas membuahi, ada yang bertugas dibuahi. Yang membuahi laki-laki dan yang dibuahi perempuan,” jelasnya.

“Laki-laki atau perempuan  apapun agamanya jika dihadapkan pada dirinya fakta-fakta tentang sensualitas atau seksualitas, hasratnya akan muncul. Tak peduli apakah dia orang Amerika, Eropa atau Indonesia.  Muslim maupun non muslim. Demikian pun jika ditanamkan persepsi-persepsi tentang sensualitas, saat ia membayangkan akan terbangkitkan nalurinya dan meminta pemenuhan,” tambahnya.

Om Joy menilai, dari sisi pemenuhan gharizah nau’ setidaknya ada dua masalah yang muncul. ‘dengan persetujuan korban’ atau ‘tanpa persetujuan korban’.

“Nah yang dilarang oleh sekularisme adalah bila salah satu fihak tidak setuju. Jadi, ketika terjadi pacaran yang suka sama suka itu tidak dilarang oleh sekulerisme. Yang dilarang ketika salah satu pihak menolak. Tidak ada larangan mendekati zina, sehingga manusia selalu dirangsang oleh fakta-fakta di depan mata, perempuan yang tidak menutup aurat, berpenampilan seksi baik di iklan maupun di TV. Di kehidupan sehari-hari sensualitas ditonjolkan. Ini semua akan merangsang naluri,” bebernya.

Masalahnya, tutur Om Joy, kalau setiap hari dirangsang dan nafsu sudah di ubun-ubun sementara korban menolak, pelaku akan melimpahkan pada orang-orang yang dianggap lemah atau dengan cara memaksa. Saat pemaksaan itu sudah terjadi, aturan baru datang. Solusi yang sangat terlambat.  “Inilah solusi kekerasan seksual yang diberikan oleh sekularisme, memisahkan aturan agama dari aturan negara,” tegasnya.

*Wujud HAM*

Om Joy menilai, pemikiran kebebasan berpendapat, HAM, kebebasan berperilaku menjadi rujukan Permendikbud 30/21.

“Permendikbud 30/21 adalah bentuk kongkrit dari perwujudan HAM. Pancasila hanyalah bentuk lain dari sekularisme,” tegasnya.

Menurutnya, Kebebasan berperilaku membuat setiap individu boleh melakukan hubungan seksual dengan siapa saja. “Dalam hubungan pernikahan atau di luar pernikahan, kecuali ada pihak yang dirugikan. Kebebasan berperilaku akan dibatasi oleh kebebasan pihak lain yang merasa terganggu. Dalam konteks ini kita bisa faham kenapa zina dibiarkan tapi pemerkosaan dilarang,” ujarnya.

Ia mengatakan, pada KUHP bab ke-14 tentang kejahatan pasal 284 -289 tentang kriteria senggama yang legal dibolehkan senggama dalam empat kondisi. Pertama, ada izin dari wanita yang disetubuhi. Kedua, wanita tersebut tidak sedang terikat dengan perkawinan dengan laki-laki lain.Ketiga, wanita tersebut telah cukup umur secara hukum. Keempat, wanita tersebut dalam keadaan sehat akalnya dan mampu membuat keputusan.

“KUHP ini satu nafas dengan Permendikbud. Dengan bahasa lain permendikbud tidak bertentangan dengan KUHP,” tegasnya.

Menurut Om Joy, kalau perempuan punya suami melakukan zina kemudian suami tidak terima dan mengadukan ke pihak berwajib maka istri  bisa dihukum. Karena hukum itu delik aduan. Tapi jika suaminya ridha istrinya berzina, sang istri bebas dari hukuman. 

“Sampai saat ini tidak ada pernyataan bahwa KUHP ini bertentangan dengan Pancasila baik oleh rezim yang ada maupun oleh badan yang paling otoritatif BPIP. Inilah yang menyebabkan perzinahan, kekerasan seksual tetap merajalela,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, Om Joy menegaskan, permendikbud tidak akan menyelesaikan masalah kekerasan seksual. “Apa yang terjadi di Amerika dan negara-negara Eropa akan terjadi juga di Indonesia. Kita tidak bisa berdalih Indonesia mayoritas muslim, karena negara tidak mengambil aturan Islam sebagai aturan negara. Indonesia, Amerika, Eropa sama-sama mengadopsi akidah sekuler, berdasar HAM. Jadi dampaknya akan sama, hanya soal waktu saja,” terangnya.

Bahkan menurutnya, negara sekuler itu negara jahat. “Membiarkan kejahatan merajalela, membuat aturan yang melegalkan kejahatan, sehingga membuat negara dan rakyat rusak dan merusak,” tandasnya.

*Solusi*

Menurut Om Joy, harus ada peraturan yang membuat kalau laki-laki dan perempuan bertemu sehingga muncul rasa saling menolong dalam martabat dan kemuliaan. “Tolong menolong baik di bidang ekonomi, pendidikan, pemerintahan dan lain-lain. Intinya menunjukkan manusia itu sebagai manusia yang bermartabat bukan dalam sudut pandang seksualitas. Solusi ini lahir dari paradigma Islam,” tuturnya.

Menurutnya, karena persoalan ini terkait persoalan paradigma, maka solusinya juga harus menggunakan paradigma yang benar yaitu Islam. “Hanya saja di negara sekuler ini saat ada kaum Muslimin yang sadar akan solusi yang benar, kemudian mendakwahkannya justru mereka dituduh radikal, dan dijadikan musuh negara, di persekusi, ditangkapi,” sesalnya.

Ia menegaskan kembali bahwa Permendikbud 30/21 mengonfirmasi adanya masalah kekerasan seksual yang serius di negeri ini. “Masalah ini muncul karena sejak awal negara ini sudah salah dalam memilih dasar negara. Menyontek Barat dengan menjadikan sekularisme sebagai dasar. Akhirnya masalah yang terjadi di Barat terjadi juga di Indonesia,” tegasnya.

Menurutnya, aturan yang dibuat tidak akan efektif. Pelarangan zina semestinya langsung diterapkan oleh Kepala Negara. Tapi Kepala Negara yang bisa menerapkannya hanyalah Kepala negara Islam/Khalifah.

“Negeri ini diatur dengan sesuatu yang keliru dalam semua aspek baik akidah maupun aturannya. Sebagai seorang Muslim seharusnya hanya memilih Islam sebagai sumber aturan, sehingga mendapat ridha dari Allah SWT bahagia dunia akhirat,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :