Pendapat Hukum Ketua LBH Pelita Umat terhadap RUU T-PKS - Tinta Media

Selasa, 14 Desember 2021

Pendapat Hukum Ketua LBH Pelita Umat terhadap RUU T-PKS


Tinta Media — Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, S.H, M.H. memberikan pendapat hukum (legal opini) terhadap Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU T-PKS) yang menjadi usulan inisiatif DPR.

"Berkaitan dengan hal tersebut di atas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (12/12/2021).

Pertama, ia menyatakan bahwa perumusan norma yang diatur, mengandung makna bahwa dibenarkan apabila ada 'persetujuan dan tanpa paksa.' "Perumusan norma kekerasan seksual yang diatur memuat frasa 'secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas.’ Jika menggunakan tafsir _argumentun a contrario_ mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada 'persetujuan dan tanpa paksa.' Maka hubungan seks diluar pernikahan tidak dapat dipersoalkan dan hal ini dikhawatirkan menjadi legitimasi bagi pihak manapun yang ingin melakukan seks diluar pernikahan berbasis persetujuan," ujarnya.

Kedua, semestinya Indonesia memiliki aturan hukum yang tegas melarang perzinaan atau seks di luar nikah. "Sepatutnya Indonesia memiliki aturan hukum yang melarang perzinaan atau hubungan seks diluar pernikahan. Aturan ini akan melindungi kehormatan, harkat, martabat wanita dan juga melindungi kerusakan moral bangsa. Aturan larangan zina dapat dilakukan dengan perluasan pasal 284 KUHP. Selama Pasal 284 KUHP diterapkan jika pelaku zina telah menikah," jelasnya.

Terakhir, Chandra menegaskan bahwa sekularisme telah melahirkan budaya permisif hedonis yang membebaskan syahwat manusia. Ketiadaan bom perlindungan negara dalam mengatur tata pergaulan di masyarakat telah berdampak pada meningkatnya kasus kekerasan seksual pada perempuan.

"Menurut pihak yang mendukung maraknya kekerasan seksual disebabkan karena tidaklah sama adanya payung hukum komprehensif yang mengatur upaya penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual,” ungkapnya.

Padahal, kata Chandra, kekerasan seksual sesungguhnya merupakan permasalahan sistemik. “Sistem pergaulan dalam bingkai sekularisme telah melahirkan budaya permisif hedonis yang membebaskan syahwat manusia. Ketiadaan bom perlindungan negara dalam mengatur tata pergaulan di masyarakat telah berdampak pada meningkatnya kasus kekerasan seksual pada perempuan," pungkasnya.[] Nur Salamah


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :