MODERASI DAN DILALAH WADH'IYYAH LUGHAWIYYAH? - Tinta Media

Rabu, 22 Desember 2021

MODERASI DAN DILALAH WADH'IYYAH LUGHAWIYYAH?


Tinta Media - Benarkah istilah "moderasi beragama" bisa simpel diterima dengan alasan dimaknai secara "dilalah wadh'iyyah lughawiyyah"?

Qultu:

Tidak bisa karena tidak bisa disimplifikasi seperti itu. Dalam kajian hukum istilah, istilah "moderasi"/"moderat", di zaman ini  sudah mengandung "isme" yang secara 'urfi punya konotasi khusus, yang bertentangan dengan hakikat Islam itu sendiri, makanya dari awal perlu kita kritisi, terlebih istilah tersebut dimunculkan oleh orang-orang yang sama mendukung liberalisasi pemikiran. Dengan kata lain, "moderasi" sarat dengan muatan "liberalisasi" itu sendiri, sama isinya hanya beda istilah saja. 

Ini sama seperti menghukumi istilah komunisme, sosialisme yang tidak bisa dihukumi berdasarkan makna sosialisasi, kajian ushulnya bisa dilacak pada kitab Tafsir Syaikhuna 'Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, ketika menafsirkan QS Al-Baqarah [2]: 104, menyoal kajian istilah yang sudah mengandung makna yang bertentangan dengan Islam (tidak boleh sembarangan digunakan).

Komunisme (al-syuyû’iyyah) atau dalam istilah lain yakni sosialisme (al-isytirâkiyyah) sebagaimana digambarkan Syaikhul Ushul ’Atha' Ibn Khalil menjelaskan dalam kitab tafsirnya:

فمثلا لو سئلنا الحكم الشرعي في الاشتراكية، فلا نبحث معنى الاشتراكية اللغوي من اشترك أو شركاء أو شركة حسب معانيها اللغوية ونسلط الحكم عليها، بل نسلط الحكم الشرعي على المعنى الاصطلاحي لكلمة (اشتراكية) فنجد أن أهلها سموها ب هذا الاسم للدلالة على مبدأ معين ينكر أن هناك خالقا للمادة ويعتبرها أزلية ثم يطبق أحكاما منبثقة من عقيدته هذه، فيقول بتطور المادة و إلغاء الملكيات وأنواع المساواة المبنية في ذلك النظام، وبهذا المعنى نقول إن الاشتراكية نظام كفر للنصوص الواردة حول مدلولها الاصطلاحي.

“Maka sebagai contoh, apabila ditanyakan kepada kita: hukum syara’ atas sosialisme, maka kita tidak mengkaji makna sosialisme dari kata ‘sosialisasi’, ‘sekutu’ atau ‘persekutuan’ berdasarkan makna-maknanya secara bahasa dan kita menghukuminya. Akan tetapi, kita menyerahkan otoritas terhadap hukum syara’ (menghukuminya) berdasarkan makna istilah dari kata ‘sosialisme’, maka kita temukan bahwa para penganut sosialisme menamakannya dengan istilah tersebut untuk menunjukkan ideologi tertentu yang mengingkari keberadaan Sang Pencipta yang menciptakan, materi, dan menganggap ia sebagai sesuatu yang abadi, kemudian menggali hukum tertentu berdasarkan dari akidahnya ini. Maka ajaran ini menyatakan adanya evolusi materi, penghapusan kepemilikan dan semboyan-semboyan persamaan yang dibangun dari sistem ini. Berdasarkan hal ini, kita katakan bahwa sosialisme merupakan sistem kufur berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan tentang pengertian terminologisnya.” (’Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. II, 1426 H/ 2006, hlm. 120)

Syaikh Muhammad Syakir al-Syarif  dalam kitab Haqiqat al-Dimuqrathiyyah mengungkapkan: 

قد تعودنا - وهذه عادة صحيحة ينبغي الحرص عليها - أن الكلمات ذات الأصل غير العربي، عندما نريد معرفة مدلولها، فإنه ينبغي أن نرجع في فهم معناها وإدراك حقيقة مدلولها إلى أصل الكلمة في المَوْطِن الذي خرجت منه؛ حتى لا يخدعنا المترجمون الذين لهم أهواء وشهوات وشبهات في تحريف معاني هذه المصطلحات الأجنبية، وتقديمها للناس في ثوب خادع يستخفّون به غير المتخصصين من الناس، وقليلي المعرفة؛ لترويج هذه المصطلحات ومدلولاتها في مجتمع المسلمين.

"Sungguh kita (dalam islam) sudah terbiasa – dan hal ini merupakan kebiasaan yang benar yang harus senantiasa diperhatikan – bahwa setiap kata yang bukan berasal dari bahasa arab, ketika kita ingin memahami pengertiannya, maka kita harus memahami makna dan mengetahui hakikat pengertiannya dengan mengembalikannya pada pemahaman asal kata tersebut di tempat kemunculannya. Sehingga kita tidak dikelabui para penerjemah yang terjangkit penyakit hawa nafsu, berbagai syahwat dan syubhat menyimpangkan makna dari istilah-istilah asing ini, dan digunakan kepada manusia dengan jubah tipudaya meremehkan orang-orang awam dan sedikit ilmunya, dengan maksud mempromosikan istilah-istilah dan pengertian kata ini di tengah-tengah kaum Muslim."

Di sini letak pentingnya memahami wa'yu siyasi (tidak polos), jelas adanya harb al-mushthalah (perang istilah) dan kita jangan terjebak pada permainan istilah seperti ini. 

لسان الحال أفصح من لسان المقال

"Bahasa keadaan lebih fasih (menunjukkan kepada realita) daripada bahasa klaim semata."

Para da'i, perlu meningkatkan kepekaan pemikiran, tidak tasahul menggunakan istilah-istilah yang sedari awal bermasalah (kontroversi), bahkan harus dikritisi. Ingatkan mereka yang kadung terjebak dalam permainan istilah ini.

Oleh: Ajengan Irfan Abu Naveed 
Pakar Fiqih Siyasah


NB:
Perspektif tambahan di sini "Sekilas Tinjauan Kritis Atas Istilah "Islam Wasathiyyah" (Islam Moderat)": irfanabunaveed.net

وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا ويحبه



Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :