KH Muhammad Shiddiq Al-Jawi Jelaskan Hukuman Pemerkosa 12 Santriwati - Tinta Media

Jumat, 24 Desember 2021

KH Muhammad Shiddiq Al-Jawi Jelaskan Hukuman Pemerkosa 12 Santriwati


Tinta Media - Terkait hukuman bagi pemerkosa 12 santriwati, Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq Al-Jawi, M.Si. memberikan penjelasan hukumnya.

"Secara syariah, sanksi yang dijatuhkan kepada pemerkosa (al-mughtashib) dalam kasus tersebut adalah sebagai berikut," tuturnya pada acara Ngaji Subuh, Kajian Soal Jawab Fiqih: Pemerkosa Santriwati Dikebiri atau Dirajam? Ahad (19/12/2021) di kanal YouTube Ngaji Subuh.

Menurutnya, sanksi pertama bagi pemerkosa adalah dirajam sampai mati atau dicambuk seratus kali. "Hukuman atau sanksi (uqubat) pertama bagi pemerkosa (al-mughtashib): had zina, yaitu dirajam sampai mati jika pemerkosanya sudah menikah atau dicambuk seratus kali jika belum menikah," paparnya.

Ia juga menjelaskan dalil pensyariatan rajam dan cambuk. Dalil pensyariatan rajam antara lain hadis shahih dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW ketika beliau berada di masjid. Orang itu memanggil beliau seraya mengatakan, 'Rasulullah saya telah berzina'. Tetapi Rasulullah berpaling darinya. Tatkala kesaksiannya sampai empat kali, nabi bertanya, 'Apakah kamu gila?' Dia menjawab, 'tidak'. Nabi bertanya, 'Apakah kamu sudah menikah?' Dia menjawab, 'ya'. Lantas Nabi bersabda, 'Bawalah orang ini, dan rajamlah dia!” (HR. Bukhori 6450)

Selain hadis, Ustaz Shiddiq, panggilan akrabnya, juga menyampaikan firman Allah tentang hukuman cambuk bagi pemerkosa yang belum menikah. Dalil pensyariatan hukuman cambuk seratus kali bagi pemerkosa yang belum menikah adalah QS. An-Nuur ayat 2, yang artinya, "Pezina perempuan dan pezina laki-laki deralah dari masing-masing keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang beriman".

Selanjutnya, ia menjelaskan mengenai sanksi kedua untuk pemerkosa adalah dengan membayar kompensasi berupa mahar untuk wanita yang semisal korban. "Sanksi kedua untuk pemerkosa  (mughtashib): Ta'widh Mali, yaitu dijatuhi hukuman dengan membayar kompensasi berupa shodaaqu mitslihaa adalah mahar untuk wanita yang semisal korban," bebernya.

Hukuman tersebut, menurutnya, didasarkan pada pendapat sebagian fuqoha, diantaranya ulama Mazhab Maliki dan Syafi'i. Demikian pendapat sebagian fuqoha, diantaranya ulama Mazhab Maliki dan Syafi'i. Berkata Imam Malik dalam kitabnya Al Muwaththa yang artinya, "Hukuman menurut kami bagi laki-laki (pemerkosa) yang memperkosa wanita, baik dia perawan maupun janda adalah ; jika korban itu wanita merdeka, pemerkosa itu wajib membayar *Shodaaqu Mitslihaa* (mahar untuk wanita yang semisal korban). Jika korbannya budak, maka maharnya berkurang sesuai harga budak. Hukuman perkosaan ini adalah hanya untuk pemerkosa dan tidak ada hukuman untuk yang diperkosa." (Imam Maliki, Al Muwaththa, 11/734)

Selanjutnya, ia menjelaskan sanksi ketiga untuk pemerkosa adalah ta'zir. "Dijatuhi hukuman berupa ta'zir yaitu sanksi yang dapat dijatuhkan Hakim Syariah (qadhi) kepada pemerkosa, karena dia tidak sekedar berzina tetapi juga melakukan pemaksaan yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri," jelasnya.

Ia menyampaikan bahwa itu pendapat dari Imam Ibnu Abdil Barr. Demikian pendapat Imam Ibnu Abdil Barr (Ulama Mazhab Maliki) dalam kitabnya Al Istidzkaar  yang artinya, "Sesungguhnya hakim (qadhi) dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan ta'zir kepadanya, suatu hukuman yang dapat membuat jera untuk dia dan orang-orang semisalnya”. (Imam Ibnu Abdil Bar, Al Istdzkaar)

Terakhir, Ustadz Shiddiq Al Jawi menekankan bahwa sanksi kebiri bagi pemerkosa hukumnya haram. "Menjatuhkan hukuman pengebirian bagi pemerkosa hukumnya haram, karena syariat Islam dengan tegas mengharamkan pengebirian manusia," tegasnya.

Menurutnya, mengenai pengharaman kebiri tidak ada perbedaan pendapat diantara para fuqoha. "Tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqoha," katanya.

Terkait haramnya hukuman kebiri, ia memberikan beberapa dalil dari hadits-hadits sahih. "Dalil haramnya pengebirian pada manusia adalah hadits-hadits sahih yang dengan jelas menunjukkan larangan Rasulullah SAW terhadap pengebirian," tuturnya. 

Berikut ini, kata Ustaz Shiddiq, dalil-dalil yang melarang pengebirian antara lain:

Dari Sa'ad bin Abi Waqqash RA, ia berkata yang artinya, "Rasulullah Saw telah menolak Utsman bin Mazh'un Ra untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah  Saw mengizinkan Utsman bin Mazh'un untuk melakukan tabattul niscaya kami sudah melakukan pengebirian." (HR Bukhari no 5073 Muslim no 3390)

Dari Ibnu Mas'ud RA, ia berkata yang artinya, "Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi Saw. Sedang kami tidak bersama istri-istri. Lalu kami berkata (kepada Nabi Saw), 'Bolehkah kami melakukan pengebirian?' Maka Nabi Saw melarang yang demikian itu." (HR Bukhari no 4615; Muslim no 1404; Ahmad no 3650; Ibnu Hibban no 4141). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima'i fii Al Islam, hlm 164; Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah, 19/119). [] *Nur Salamah*


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :