Jalan Panjang Islamisasi Jawa - Tinta Media

Rabu, 22 Desember 2021

Jalan Panjang Islamisasi Jawa



Tinta Media - Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo mengemukakan sebuah teori bahwa Islam baru diterima oleh penduduk Jawa setelah 800 tahun sejak kedatangannya. Ia mengatakan bahwa sebenarnya islam sudah datang ke Jawa sejak abad pertama Hijriyah atau sekitar abad ke 7 Masehi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh WP Groeneveldt dalam bukunya “Nusantara Dalam Catatan Tionghoa”, juga menyatakan bahwa sebenarnya orang-orang Islam sudah tiba di Jawa pada Abad 7 masehi atau pada abad pertama hijriyah.
.
Dalam bukunya, Groeneveldt mengatakan, berdasarkan catatan Dinasti Tang disebutkan bahwa pada tahun 674 M atau abad 7 M, ada orang-orang Ta-shi yang datang dari barat ke negeri Holing. Ta-Shi adalah penyebutan orang-orang Cina untuk menyebut orang Arab/Islam. Dan Holing adalah sebutan untuk Kalingga (daerah sekita Jepara). Dalam catatan Dinasti Tang tersebut, dikatakan bahwa orang-orang Ta-shi berniat untuk melakukan serangan terhadap Holing. Namun sebelum melakukan serangan, orang-orang Ta-Shi terlebih dahulu melakukan survey terhadap situasi dan kondisi negeri Holing.
.
Setelah beberapa lama tinggal di negeri Holing, orang-orang Ta-shi mendapati bahwa penduduk negeri Holing adalah rakyat yang sangat patuh terhadap pemimpinnya. Mereka dipimpin oleh seorang perempuan yang bernama Ratu Shima. Kenapa penduduknya sangat patuh terhadap Ratu Shima? Karena Ratu Shima merupakan pemimpin yang sangat adil, sehingga rakyatnya sangat mencintai pemimpinnya tersebut. Kepatuhan tersebut tercermin dalam kepatuhan mereka terhadap aturan/UU yang dibuat oleh Ratu Shima. Diantara undang-undang yang berlaku pada waktu itu adalah semua penduduk tidak boleh menyentuh atau mengambil barang milik orang lain. 
.
Untuk menguji apakah benar penduduk Holing sangat patuh terhadap aturan tersebut, kemudian orang Ta-Shi meletakkan satu wadah yang berisi perhiasan emas dipinggir jalan. Setelah beberapa lama, ternyata penduduk Holing tidak ada yang menyentuh perhiasan tersebut. Namun kemudian, ternyata ada seorang putra mahkota yang menyepak perhiasan tersebut, yang sebenarnya bertujuan untuk menyingkirkan perhiasan tersebut karena menghalangi jalannya. Mengetahui putra mahkotanya bertindak seperti itu, Ratu Shima pun marah, namun aturan tetap ditegakkan, putra mahkota pun akhirnya dihukum dengan di potong kakinya. 
.
Melihat peristiwa seperti itu, orang-orang Ta-shi akhirnya membatalkan niatnya untuk menyerang negeri Holing dan kembali ke barat. Diketahui bahwa Kedatangan orang-orang Ta-Shi ke negeri Holing sezaman dengan kepemimpinan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan. Catatan ini menjadi petunjuk bahwa kedatangan orang-orang Islam ke pulau Jawa sudah dimulai pada abad pertama hijriyah. Namun, kita tidak mengetahui proses kelanjutan dari peristiwa tersebut, jejak kedatangan orang-orang Ta-shi tidak diketahui kelanjutannya.
Profesor Sucipto Wuryosuprapto juga menemukan, dalam penelitiannya yang dilakukan terhadap dua naskah yang berasal dari kerajaan Kediri pada Abad 12 M. Dua naskah tersebut adalah Kakawin Gatotkacasraya dan Kakawin Baratayudha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Kedua naskah tersebut masih menggunakan bahasa jawa kuno, tapi anehnya dalam kedua naskah tersebut ditemukan ungkapan-ungkapan yang diserap dari bahasa arab. Sehingga Prof Sucipto berkesimpulan bahwa di masa itu dimungkinkan ada interaksi yang terjadi antara orang-orang arab dengan penduduk jawa. Karena tidak mungkin kosa kata bahasa jawa kuno bisa dimasuki kosa kata bahasa arab kecuali pada waktu itu telah terjadi interaksi yang sangat intens.
.
Pada akhir abad ke-13, Marcopolo seorang penjelajah Eropa yang kembali dari Cina mengatakan bahwa saat kapal yang ditumpanginya singgah di Pantai Sumatera dan Pantai Utara Pulau Jawa. Ia melihat penduduk dimana dia singgah terbagi atas tiga golongan masyarakat: kaum muslim Cina, kaum muslim Persia- Arab, dan penduduk pribumi yang masih memuja roh-roh. 
.
Dalam catatan Cheng Ho, yang pernah tujuh kali melakukan muhibahnya ke Nusantara, juga mengatakan bahwa ajaran Islam belum dianut oleh kalangan pribumi. Ketika muhibahnya yang ketujuh pada tahun 1433 Masehi. Ma Huan yang ikut dalam kunjungan Cheng Ho ketujuh mencatat, bahwa penduduk yang tinggal di sepanjang pantai utara Jawa terdiri atas tiga golongan: muslim Cina, muslim Persia- Arab, dan pribumi yang masih kafir, memuja roh-roh dan hidup sangat kotor. 
.
Dari beberapa catatan ini kita bisa menyimpulkan, bahwa sejak kehadirannya ke Nusantara sejak abad ke 7 sampai abad ke 15 masehi. Ada rentang waktu sekitar 8 abad dimana islam belum dianut secara besar-besaran oleh penduduk Jawa. Berdatangannya orang-orang islam dari Arab, Persia, dan China yang mayoritasnya adalah pedagang. Ternyata tidak otomatis diikuti oleh penyebaran agama Islam secara massif di kalangan penduduk pribumi. Ini tentu menjadi sebuah pertanyaan besar, kenapa pada rentang waktu 8 abad tersebut penduduk jawa belum mau memeluk islam?
Padahal sebenarnya pada abad 11 M, sebagaimana Sejarah yang kita pelajari di sekolah, terdapat makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik. Ini menjadi bukti bahwa islam sudah masuk ke Pulau Jawa pada abad 11 M. Makam Islam tertua lainnya adalah makam Syaikh Syamsuddin al-Wasil atau Sulaiman Wasil Syamsuddin, yang terletak di kompleks makam Setana Gedong, Kediri. Syaikh Syamsuddin al-Wasil yang dikebumikan di makam Setana Gedong diyakini merupakan salah satu ulama besar yang hidup pada abad ke-12. Dimana pada waktu itu bersamaan dengan berkuasanya Prabu Jayabaya dari Kerajaan Kediri. Tidak heran, Pujangga Ranggawarsitha dalam seratnya menarasikan bahwa Syekh Syamsudin atau Syekh Syamsuzen merupakan Guru dari Prabu Jayabaya. Syekh Syamsuzen inilah yang disebut mengajarkan Prabu jayabaya ramalan-ramalan tentang Jawa dimasa depan.
.
Kalau sudah ada bukti tentang datangnya orang-orang Islam ke Kalingga pada abad ke 7 dan juga terdapat makam Fatimah binti Maimun pada abad ke 11, kenapa masih jarang penduduk Jawa yang menganut islam? Dan kenapa islamisasi massif baru terjadi pada abad 15 setelah era Walisongo? 
.
Untuk menjawab pertanyaan ini, menarik apa yang disampaikan oleh Pak Agus Sunyoto, kenapa islam baru bisa dipeluk oleh penduduk Jawa setelah Era Walisongo. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya mayoritas penduduk Jawa memeluk agama/ajaran Kapitayan. Sementara agama Hindu-Budha hanya dipeluk oleh kalangan bangsawan kerajaan. Kapitayan merupakan kepercayaan purba yang ada di sekitar Asia Tenggara termasuk di pulau jawa. Ajaran Kapitayan ini mempunyai ajaran Tauhid yaitu mentauhidkan Sanghyang Taya. Dan peribadatannya pun mirip dengan Islam, mereka sembahyang di tempat yang disebut Sanggar. Dilakukan dengan Tu-lajeg (berdiri tegak), menghadap Tutu-k (lubang ceruk), kemudian ber swa-dikep (dengan kedua tangan bersedekap). Kemudian dilanjutkan dengan posisi Tung-kul (membungkuk memandang ke bawah), lalu dilanjutkan dengan posisi Tu-lumpak (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki). Peribadatan ini diakhiri dengan posisi To-ndhem (bersujud).
.
Pak Agus Sunyoto lebih lanjut mengatakan bahwa ajaran Kapitayan ini disatu sisi menjadi penyebab kenapa Islam sangat sulit untuk diterima oleh penduduk Jawa. Karena penganut ajaran ini awalnya salah paham terhadap ajaran Islam, mereka mengira orang Islam menyembah batu (Kakbah). Namun setelah era Walisongo, yang memahami betul apa itu agama/ajaran Kapitayan, para wali pun akhirnya bisa menjelaskan apa itu Islam yang sebenarnya. Walaupun orang islam menghadap Kakbah ketika sholat, tapi bukan berarti orang Islam menyembah Kakbah. 
.
Para Wali juga bisa menjelaskan tentang siapa sebenarnya Sanghyang Taya yang dijadikan sesembahan utama agama Kapitayan ini. SangHyang Taya yang bermakna Hampa, Kosong, Suwung, atau Awang-uwung. Taya yang bermakna Absolut, yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan, tidak bisa didekati dengan pancaindra. Orang Kapitayan mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat “tan kena kinaya ngapa” alias ‘tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya’. Oleh para Wali dijelaskan, bahwa sejatinya sesembahan yang benar sesuai deskripsi orang Kapitayan adalah Allah. Tuhan yang Maha Esa, Tuhan yang tidak bisa dilihat, dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. 
.
Setelah mendapatkan penjelasan tentang Islam dengan benar oleh para Wali, akhirnya banyak penduduk Jawa yang berbondong-bondong masuk islam. Ajaran Kapitayan yang sebenarnya mirip dengan Islam, memudahkan migrasi agama ini. Sebelum Islam datang, penduduk Jawa sudah mengenal apa yang disebut Ngundhuh wohing pakarti, artinya memetik buah akibat perbuatan. Perbuatan baik maupun buruk semua akan mendapat balasan. Falsafah jawa ini mirip apa yang dijelaskan dalam QS Al-Zalzalah ayat 7 dan 8. Sebelum penduduk Jawa mengenal innalillahi wainna ilaihirajiu’un, mereka sudah tahu Sangkan Paraning Dumadi. Yaitu pengetahuan tentang "Dari mana manusia berasal, untuk apa manusia hidup dan akan kemana setelah kematian." 
.
Faktor yang tidak kalah penting dalam Islamisasi Jawa adalah fakta bahwa para anggota Walisongo adalah merupakan keturunan Bangsawan. Anggota Walisongo yang berkedudukan sebagai bangsawan Majapahit, membuat islam mudah diterima oleh penduduk Jawa. Ini terkait dengan struktur hierarki sosial yang ada pada masyarakat Jawa pada waktu itu, bahwa orang asing apalagi pedagang merupakan kasta yang lebih rendah dari kasta Sudra. Penduduk Jawa tidak mau memeluk agama yang dibawa oleh seorang yang memiliki kasta lebih rendah dari mereka. Ini sekaligus menjawab asumsi bahwa Islam dibawa oleh para pedagang. 
.
Akhir kata, dari fakta-fakta diatas, sebenarnya Islam masuk ke Jawa sudah berlangsung sangat lama. Dan bisa dengan mudah diterima oleh penduduk jawa setelah Era Walisongo yang berkedudukan sebagai bangsawan Majapahit dengan membawa Islam yang sudah matang. Yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan Tentang Konsep Tauhid yang dipeluk oleh penduduk Jawa Pra-Islam.
.
Wallahu’alam bisshowab


Oleh: Ni’mat Al Azizi



Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :