Tinta Media — Miris dan tragis, adanya zina semakin merajalela di kalangan akademis. Ini bagaikan fenomena gunung es yang siap mencair kapan saja, walau menjelang akhir tahun 2021 telah digulirkan Permendikbud ristek No.30. Permen yang mengatur Penanganan Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS) ternyata menimbulkan kontroversi. Aturan yang disinyalir menimbulkan legalisasi zina tersebut, kini terbukti adanya.
Kasus bunuh diri yang menimpa mahasiswi Unibraw, Novia Widyasari Rahayu (NWR) di dekat makam ayahnya, membuat geger banyak pihak. Diketahui, NWR mengakhiri hidupnya dengan jalan minum racun yang tersembunyi dalam botol mineral (2/12).
Sontak lokasi makam yang bertempat di Dusun Sugihan, Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto pun menjadi viral di media. Hal tersebut membuat semua pihak menuntut keadilan bagi pelaku. Tagar SaveNoviaWidyasari menjadi trending di jagad maya, setelah kasus kematian tragisnya dan terciduk oknum Polri. (liputan6.com,6/12/21).
Diduga, kematian mahasiswi tersebut akibat minum racun pottasium sianida yang terpaksa diminumnya setelah mengalami depresi. Hasil hubungannya dengan anggota Polri berinisial RB, telah menyebabkan dirinya hidup tanpa jiwa. Mendiang NWR diketahui hamil pada Maret 2020 dan Agustus 2021. Kedua kehamilan tersebut telah diaborsi atas permintaan sang polisi berpangkat Bripda tersebut (Republika.com, 5/12/21).
Kisah cinta berujung maut, penting menjadi pelajaran bagi seluruh komponen masyarakat negeri ini. NW sebagai selebgram dengan jumlah follower ribuan, pastilah bukan orang bodoh dari sisi akademisi. Apalagi dirinya tercatat sebagai mahasiswi perguruan tinggi negeri, jurusan Sastra Inggris. Sehingga patut dipertanyakan, kenapa NW melakukan tindakan yang dilarang oleh agama? Apakah karena dipaksa ataukah berdasar persetujuan? Meski dari penampilan, sosok NW adalah muslimah yang menutup aurat, tetapi akibat tren pergaulan bebas yang dilegalkan negara, membuat manusia menafikan aturan agama.
Syahwat, Kebebasan Berperilaku
Sudah menjadi tren yang dimaklumi bagi kaum muda-mudi, adanya pacaran sebagai hal yang harus dijalani sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Walau syariat Islam menganggap pacaran sebagai langkah awal mendekati zina, tetap saja banyak yang terjerumus ke dalam aktivitas maksiat ini. Hal tersebut sebagai buah dari sistem/aturan yang diterapkan oleh negeri ini, berupa sistem kapitalisme. Paham ini memisahkan agama dari kehidupan, mengagungkan kebebasan individu dalam empat hal (berperilaku, berpendapat, kepemilikan, beraqidah).
Kebebasan berperilaku akan tetap dilindungi selama tidak mengganggu kepentingan orang lain. Setiap tindakan hanya berdasar aturan yang dibuat manusia dengan manfaat/keuntungan sebagai standarnya.
Kebebasan yang menurutkan hawa nafsu semata, pasti menimbulkan kemudaratan. Kasus NW hanyalah sebagai contoh kecil polemik consent dalam kekerasan seksual. Dari penyidikan didapat bahwa antara korban dan pelaku telah sering melakukan hubungan layaknya pasutri, sehingga kasus Bripda RB, hanya dikenakan tuduhan aborsi ( Jawapos.com,7/12/21).
Karena itu, tetaplah kasus consent ini menjadi bermasalah dengan kian mencuatnya jumlah perzinaan dalam masyarakat, baik dilakukan pihak akademis maupun awam. Perzinaan dianggap hal yang lumrah, asalkan tidak mengarah kepada kehamilan. Pemakaian alat kontrasepsi pun digencarkan, baik sebagai pencegah kehamilan maupun penularan virus HIV.
Pergaulan bebas dan aborsi, keduanya selalu beriringan. Anak yang tidak diharapkan kehadirannya, telah menjadikan aborsi sebagai solusi yang disetujui, baik oleh pihak pelaku maupun korban. Meski sudah banyak penutupan praktik aborsi dan penangkapan oknum pelakunya, tetap saja muncul pelaku-pelaku yang silih berganti. Kasusnya akan diangkat jika ada yang merasa dirugikan. Sebaliknya, jika keduanya setuju, maka perbuatannya termasuk ranah pribadi yang tidak perlu penanganan.
Beragamnya tontonan yang berkeliaran merangsang syahwat, menjadi pemicu kebebasan seksual. Peran negara dalam memberantas tontonan sangat minim karena demi keuntungan materi. Sudah menjadi rahasia umum, bisnis konten porno menjadi ladang menggiurkan bagi sebagian oknum yang tidak bertanggung jawab. Maka, menjadi ilusi diberantasnya zina dalam aturan kapitalisme sekular.
Tentu generasi terancam rusak jika perilaku seksual tidak diatur dalam hukum yang tegas, bersumber dari Sang Pencipta. Karena hanya Sang Pencipta-lah yang Maha Mengetahui sifat-sifat dari makhluknya.
Islam Mengunci Syahwat dengan Syariat
Islam sebagai pengatur kehidupan yang lengkap dan sempurna, telah memberi rambu-rambu yang tegas agar syahwat tidak melenggang bebas. Aturan tersebut ada yang bersifat pencegahan dan pembuat jera. Aturan pencegahan, meliputi :
1. Ditegakkan larangan interaksi laki-perempuan yang bukan mahram kecuali dalam tiga hal, yaitu pendidikan, jual-beli dan kesehatan. Interaksinya pun seperlunya dan tidak boleh berduaan (khalwat).
2. Menjaga pandangan baik pria-wanita dari hal-hal yang dilarang (memperlihatkan aurat, memandang lawan jenis yang menarik hatinya).
3. Negara akan mengatur segala tontonan media agar tidak mengundang syahwat seksual.
4. Hanya ada khitbah, ta'aruf dan menikah bagi pria yang berhasrat kepada wanita. Akan tetapi, tetap ada larangan untuk berkhalwat dalam setiap proses tersebut.
Aturan pembuat jera, ialah:
1. Penerapan sanksi bagi pelaku zina. Hukuman rajam bagi pelaku yang sudah menikah, dan dicambuk 100 kali bagi pelaku yang belum pernah menikah (QS.An-Nur :2).
2. Sanksi bagi pelaku tindak pemerkosaan ditentukan oleh Khalifah/pemimpin negara Islam.
Demikianlah, aturan Islam menyelamatkan generasi. Aturan ini berdaya sempurna bila diterapkan secara kaffah/menyeluruh dalam kehidupan, baik dalam ranah kehidupan rumah tangga, bermasyarakat dan bernegara.
Wallahu'alaam bishawwab