BUTUH PUJA-PUJI ATAU KRITIKAN? - Tinta Media

Senin, 27 Desember 2021

BUTUH PUJA-PUJI ATAU KRITIKAN?


Tinta Media - Setiap orang butuh pujian. Selama apa yang dilakukan memang sebuah keberhasilan dan sesuai fakta. Tidak harus besar, namun cukup menunjukkan itu sebuah prestasi.

Besar kecilnya prestasi tergantung sudut pandang. Bisa jadi menurut kita luar biasa, namun menurut orang lain biasa-biasa. Karena sudah banyak yang berhasil melakukan itu. Bisa juga sebaliknya, dinilai biasa-biasa saja oleh orang lain, namun menurut kita istimewa. Karena kita baru-baru sampai di level itu.

Di sisi lain, kritik dan masukan juga dibutuhkan oleh orang. Dengan itu bisa menjadi bahan koreksi, evaluasi dan mengaca diri. Bisa jadi menurut kita sudah baik, namun ada hal yang "luput" dari pengamatan kita sehingga yang kita lakukan kurang pas. Atau dengan masukan dan kritikan, kita menjadi tahu bahwa analisa kita kurang komprehensif, kurang/salah data, salah pembisik dan lain sebagainya sehingga kita salah langkah.

Kritikan dan masukan pun tergantung sudut pandang kita. Bisa jadi baik namun juga bisa buruk. Baik ketika hati dan pikiran lapang dada menerima masukan/kritik. Tidak ada rasa curiga. Selalu prasangka baik. Jika demikian maka kritik dan masukan akan terasa indah di telinga. Walau kritikan itu "pedas" narasi dan penyampaiannya.

Lain hal jika sudah ada prasangka buruk, curiga dan menganggap "musuh" yang memberi kritik/masukan, maka apapun yang disampaikan akan terdengar "nyinyiran" dan "caci maki." Semua buruk. Walau kontennya bagus.

Beda sikap dan perlakuan, ternyata pujian dan kritikan akan menjadi berbeda makna. Inilah pentingnya menata hati dan pikiran serta prasangka.

Apalagi seorang pemimpin negara. Proporsional dalam menyikapi pujian dan atau kritikan menjadi hal yang penting dan sangat vital.

Seorang pemimpin tidak layak hanya ingin menerima pujian saja. Gak mau di kritik. Ketika ada partai pendukungnya memberikan puja-puji setinggi langit, dia nampak tertawa dan senyum gembira. Walau pujian tersebut terselip narasi merendahkan pihak atau orang lain. Pujian beracun. Pujian sekaligus ada cacian dan merendahkan orang. Namun "sensi" dan "baper" ketika mendapat kritikan dari orang.

Banyak pujian yang akhirnya justru membuat orang yang dipuji "tergelincir". Karena pujian itu tidak tulus. Sebab tujuan pujian ternyata untuk menjilat dan agar "Asal Bapak Senang." Pujian ada kepentingan. Itulah pujian racun politis.

Seorang pemimpin harus tahu dan bisa memilah. Mana pujian yang tulus dan sesuai realitas. Dan mana pujian beracun penuh kepentingan dan tipu muslihat.

Seorang pemimpin jangan cemberut menerima masukan dan kritikan. Apalagi langsung disampaikan di depan mata. Tidak alergi dan langsung membabi buta melakukan pembelaan. Bahkan "membiarkan" anak buah dan buzzeRp menyerang pribadi pengkritiknya.

Bermuka masam dan _masghul_ ketika mendengar kritikan. Menganggap kritikan yang ada adalah upaya mendelegitimasi kekuasaannya. Mencoreng keberhasilannya, dll. Akhirnya fokus pada pembelaan diri, bukan pada esensi melihat, mengecek, mereview dan mengevaluasi apa yang menjadi materi masukan/kritikan.

Kritikan bisa jadi seperti jamu. Pahit memang, namun menyehatkan jika di minum. Pedas dan keras terdengarnya memang, namun nikmat dan indah jika disikapi dengan baik.

Inilah ujian seorang pemimpin. Menyikapi pujian dan kritikan. Di anggap lawan atau kawan. Dianggap cacian atau masukan. Dianggap menunjukkan yang kurang atau mendelegitimasi, dll.

"Drama" puja-puji Giring dan kritikan Kyai Anwar Abbas atas pemimpin negeri ini menjadi kabar buat kita. Pemimpin saat ini suka puja-puji semata walau beracun ataukah tidak. Alergi dan baper pada kritikan/masukan ataukah tidak. Dan bagaimana cara pemimpin menyikapi keduanya. Anda sudah bisa menilai. Butuh puja-puji atau kritikan? Wallahua\"lam bishowab.

Oleh: Gus Uwik
Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :