Buku Kritik terhadap Pemikiran Barat Kapitalis Ungkap Pilar-Pilar Pemikiran Ekonomi Kapitalis dan Kerusakannya - Tinta Media

Jumat, 31 Desember 2021

Buku Kritik terhadap Pemikiran Barat Kapitalis Ungkap Pilar-Pilar Pemikiran Ekonomi Kapitalis dan Kerusakannya


Tinta Media - Penjelasan terkait pilar-pilar ekonomi kapitalis beserta kerusakannya dapat dilihat dalam buku Kritik terhadap Pemikiran Barat Kapitalis atau Nahdhu al-Fikril Gharbi ar-Raksumaliyyah mabdaan wa hadharatan wa tsaqafatan.

“Buku ini, yang terkait dengan sistem ekonomi kapitalis, menjelaskan bahwa ekonomi kapitalisme dibangun dari pilar-pilar pemikirannya,” papar Pakar Ekonomi Islam H Dwi Condro Triono, Ph.D. dalam acara Menggugat Kapitalisme: Peluncuran Buku Kritik Terhadap Pemikiran Barat Kapitalis, Sabtu (25/12/2021) via daring.

Pilar-pilar tersebut, lanjut Dwi Condro, pertama kebebasan pribadi dalam seluruh kepemilikan. Kedua, Kepentingan pribadi atau keuntungan yang dinilai sebagai penggerak utama bagi aktivitas ekonomi. Ketiga, persaingan melalui kebebasan masuk pasar atau keluar pasar. Keempat, mekanisme pasar yang dibangun atas dasar permintaan dan penawaran dengan menjadikan harga sebagai alat keseimbangan di dalamnya. Kelima, terbatasnya peran negara dalam pasar ekonomi.

“Menurut mereka yang disebut ekonomi yang berkeadilan yang  bisa menjamin kesejahteraan dan pertumbuhan itu kalau peran negara disingkirkan.  Individu diberi kebebasan penuh dalam menjalankan ekonomi, bebas dalam kepemilikan, bebas dalam pengembangan kepemilikan, bebas dalam memproduksi dan adanya mekanisme pasar bebas,” jelasnya.

Kerusakan Ekonomi Kapitalis

 Dwi Condro mengatakan, kerusakan sistem ekonomi kapitalis itu muncul dari pemikirannya.

Pertama, pandangan terhadap materi ekonomi. Dwi Condro mengatakan, menurut pemikiran kapitalisme, kebutuhan hidup manusia itu bisa dipenuhi dengan dua bentuk materi yaitu barang dan jasa. Kebutuhan menurut ekonomi kapitalis itu disamakan dengan keinginan. “Nah ini fatalnya di situ, padahal antara kebutuhan dan keinginan jelas beda,” ungkapnya.

Menurutnya, keinginan itu tidak bisa membedakan antara kebutuhan yang bersifat pokok dengan kebutuhan yang bersifat pelengkap. Keinginan juga tidak bisa membedakan mana barang-barang atau materi yang bermanfaat dengan materi yang bersifat mudharat.

Jadi, lanjut Dwi Condro, manfaat dari barang itu dinilai dari manusia yang mengkonsumsinya saja, tidak ada pandangan apakah ini membahayakan masyarakat atau tidak. “Seperti khamar itu membahayakan masyarakat atau tidak, selama manusia itu membutuhkan maka itulah yang disebut barang ekonomi atau materi ekonomi,” contohnya.

Kedua, kebebasan kepemilikan. “Dalam ekonomi kapitalisme, individu harus dijamin kebebasannya dalam memiliki, menguasai dan mengembangkan kekayaannya. Negara tidak boleh mengintervensi. Tugas negara adalah membuat regulasi, membuat undang-undang hanya untuk melindungi agar individu- individu atau swasta masih bebas memiliki, menguasai dan mengembangkan kekayaannya,” paparnya.

Dwi Condro melihat, dalam praktiknya kebebasan individu itu adalah kebebasan untuk menjamin individu atau kelompoknya saja  dalam menguasai modal, aset-aset produksi dan keuntungan. Sehingga seluruh harta kekayaan hanya dikuasai oleh satu persen orang saja.

Ketiga, proses produksi hanya diartikan penciptaan barang dan jasa yang berkontribusi terhadap manfaat individu saja. “Dalam ekonomi kapitalisme, produksi  dibatasi hanya yang memiliki manfaat bersifat ekonomis atau material yang bisa dijual saja. Ekonomi kapitalisme tidak pernah melihat manfaat secara moral, sosial dan spiritual,” tuturnya.

Keempat, problem ekonomi hanya dipandang sebatas masalah kelangkaan saja. Kapitalisme memandang kebutuhan manusia tidak terbatas, sementara sarana pemenuhannya terbatas, sumber dayanya terbatas.

Menurutnya, ini adalah pandangan yang menggeneralisir kebutuhan manusia. Ia mengatakan bahwa kebutuhan manusia itu bisa dibedakan antara kebutuhan pokok dan kebutuhan pelengkap. Kebutuhan pokok itu dari dulu terbatas, misalnya makan dan minum. Sedangkan yang tidak terbatas itu kebutuhan pelengkap,  seiring dengan keinginan manusia. Ini  dimanfaatkan oleh para kapitalis dengan cara memunculkan kebutuhan-kebutuhan semu yang mendorong perilaku konsumerisme dan akhirnya dikendalikan oleh kaum kapitalis. Ia memberikan contoh “Seseorang yang sudah punya mobil misalnya, didorong untuk ganti mobil baru,” jelasnya.

“Disinilah akhirnya fokus ekonomi kapitalisme hanyalah produksi dan produksi, sehingga yang disebut keberhasilan ekonomi adalah pertumbuhan secara agregatif di sebuah negara, bukan masalah selesaianya urusan kebutuhan pokok yang kalau itu tidak dipenuhi bisa mati,” jelasnya.

Ini berbeda dengan Islam, lanjutnya, Islam menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu rakyat secara keseluruhan. “Islam menjamin distribusi kekayaan pada setiap individu rakyat orang perorang yang mencakup sandang, pangan dan papan serta memberikan peluang untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya semaksimal mungkin,” pungkasnya.[]Irianti Aminatun


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :