Tintamedia.web.id --Pengasuh MT Darul Hikmah Ustaz Muhammad Taufik Nusa Tajau, S.Pd., M.Si. menilai upaya rekontekstualisasi fikih sebagaimana disampaikan Yaqut dalam pembukaan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) Ke-20 di Surakarta, 25 November 2021 lebih radikal dari pendahulunya.
“Upaya rekontekstualisasi fikih ala Yaqut saat ini lebih radikal daripada yang dulu,” tuturnya dalam Kabar Petang: Syariah Islam Butuh Diterapkan, Bukan Direkontekstualisasi, Jumat (05/11/2021) di kanal YouTube Khilafah News.
Menurutnya, hal ini juga pernah diusung Munawir Sjadzali, Menag Era Soeharto di tahun 1997 yang menulis tentang ijtihad kemanusiaan seperti rekontekstualisasi hukum waris dan bunga bank. “Namun, sampai wafat pun, Munawir Sjadzali tidak sampai mengotak-atik konsep jihad maupun khilafah,” ujarnya.
Selain Yaqut, menurut Taufik, juga ada seorang dosen di salah satu universitas Islam saat ini yang menuliskan hukum wajib shalat Jumat menjadi sunnah.
“Tak hanya itu, menjama’ shalat wajib tanpa uzur syar’i pun menjadi sebuah kebolehan. Sampai-sampai, batasan aurat sudah enggak dihiraukan sama sekali. Ini bahaya kalau sudah sampai menyerempet ke level-level ibadah bahkan,” ungkapnya.
“Begitu pun khamar yang pada dasarnya haram, direkontekstualisasi oleh sebagian cendekiawan Muslim sehingga menjadi boleh. Asal tidak sampai mabuk atau sekadar untuk menghangatkan tubuh karena cuaca dingin,” tambahnya.
Padahal, menurutnya, tidak ada sejarahnya para ulama dahulu mencari-cari dalil, apalagi dengan akalnya untuk menghapus sebagian hukum (takhsis) atau bahkan menghilangkan keseluruhan hukum (nasakh).
Ia mengingatkan bahwa hukum Islam diturunkan untuk memperbaiki zaman dan kondisi masyarakat. “Apa yang tidak sesuai bukan berarti fikihnya yang harus disesuaikan. Tetapi harusnya zaman itu yang harus diatur dengan hukum-hukum yang telah Allah turunkan itu,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it