Oleh: Dini Azra
Tintamedia.web.id -- Kekerasan seksual di dalam dunia pendidikan baru-baru ini terjadi lagi. Seorang mahasiswi Universitas Riau (Unri) diduga mengalami pelecehan seksual oleh dekannya saat bimbingan proposal skripsi. Mahasiswa jurusan FISIP Unri itu mengaku telah mengadukan perlakuan kekerasan seksual yang dialaminya kepada kepala jurusan dan dosennya, tetapi malah ditertawakan. Akhirnya dia memilih mengungkapkan kekecewaannya melalui video yang diunggah di akun Instagram @Komahi_Ur, Kamis (4/11/2021). Detikedu, (6/11)
Kasus kekerasan seksual di area kampus semestinya tidak terjadi. Berkaitan dengan hal itu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) telah menerbitkan Peraturan Menteri terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Aturan tersebut dimuat dalam Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 yang ditandatangani oleh Menteri Nadiem Makarim tanggal 31 Agustus 2021 dan berlaku mulai 3 September 2021 setelah diundangkan. Nadiem meminta agar perguruan tinggi membentuk satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual untuk penguatan tata kelola dalam peraturan baru ini.
Namun, seiring bergulirnya aturan perundangan baru Kemendikbudristek ini, muncul bermacam kritik dan tuntutan agar Permendikbud nomor 30 Tahun 2021 ini dicabut kembali. Di antara yang mengkritik adalah ketua umum Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) Dr.Adian Husaini. Dalam rilis Hidayatullah.com (6/11) beliau menyatakan bahwa Permen ini terlalu sekuler dan menafikan ajaran Islam dan agama lain, yang mana di dalamnya sangat menekankan kalimat “tanpa persetujuan korban” sebagai salah satu indikator kekerasan seksual, seakan membenarkan adanya kejahatan seksual (perzinahan atau yang menjurus perzinahan) jika tidak ada kesepakatan.
Sebelumnya, Majelis Ormas Islam (MOI) yang terdiri dari 13 ormas Islam Indonesia juga menyatakan penolakan dengan alasan senada, yaitu menilai bahwa Permendikbud PPKS ini secara tidak langsung telah melegalisasi perzinahan. Hal ini akan mengubah dan merusak standar moral mahasiswa. Begitu juga dengan PKS dan Muhammadiyah yang juga tegas menyampaikan kritik dan tuntutan dicabutnya peraturan menteri tersebut.
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) akhirnya merespon kritik dari MOI, PKS, dan lainnya terkait Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Hanya saja, jawaban yang diberikan tidak substantif dengan apa yang menjadi keberatan ormas Islam. Plt. Kepala Biro Kerjasama dan Humas Kemenristek Dikti Anang Ristanto menyatakan bahwa Permen PPKS tersebut mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur secara spesifik, sehingga menyebabkan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi tidak ditangani dengan semestinya. Sementara, kerugian fisik dan mental bagi korban kekerasan seksual dapat menurunkan kualitas pendidikan.
Jadi, Kemendikbud memiliki kewenangan untuk mengatur sanksi administratif terhadap pelaku yang telah diatur dalam perundang-undangan dan menjadi dasar pengingat Permen PPKS. Anang memastikan aturan ini sejalan dengan tujuan pendidikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang baik. Republika.co.id, (6/12)
Kemendikbud sepertinya belum menangkap kegelisahan dan esensi dari kritik yang disampaikan oleh ormas Islam. Memang benar, tujuan dikeluarkannya Permen PPKS ini baik, yaitu untuk melindungi mahasiswa dari tindakan kejahatan seksual selama dalam masa pendidikan. Namun, di sisi lain aturan yang diterbitkan malah menafikan masalah lain yaitu kejahatan perilaku seksual atau perzinahan. Sebab, dalam Permen PPKS pasal 5 sangat menekankan “tanpa persetujuan korban”. Artinya, Kemendikbud membiarkan apabila mahasiswa melakukan aktivitas seksual asalkan dengan persetujuan kedua belah pihak.
Inilah yang menjadi poin besar atas kritikan umat Islam, dan tentu umat beragama lain pun tidak menyetujui perilaku seks bebas. Menjadikan aspek “konsensual” atau persetujuan sebagai syarat aktivitas seksual, tentu sangat bertentangan dengan prinsip agama mana pun. Juga tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi landasan bernegara. Bukankah pasal ini serupa dengan pasal-pasal dalam RUU PKS yang sudah ditolak pada tahun 2014-2019?
Pemerintah belum juga memahami bahwa bangsa ini memiliki kultur budaya ketimuran dan prinsip keagamaan, masih saja membuat peraturan yang kontroversial. Aroma sekularisme-liberal kian kental merusak sendi-sendi kehidupan bangsa.
Pemikiran-pemikiran dari negara-negara maju yang tengah memimpin dunia terus saja diadopsi. Istilah “sex consent” yang merupakan ide yang diusung kaum feminis dan pegiat HAM sudah sering diperbincangkan dalam obrolan di jejaring sosial. Pemikiran ini sangat berbahaya bila dijadikan rujukan bagi generasi muda. Selama ini kaum feminis terus mengampanyekan, bahwa dalam aktivitas seksual yang paling penting adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Tidak penting adanya pernikahan atau tidak, lawan atau sesama jenis asalkan tidak ada paksaan, tidak ada yang disakiti atau dirugikan.
Sungguh miris, padahal perzinahan itu sendiri adalah sebuah kejahatan. Sudah tak terhitung banyaknya kasus kriminal yang diakibatkan perilaku seks bebas, seperti hamil di luar nikah, aborsi, penganiayaan, hingga pembunuhan.
Apalagi jika dinilai dari pandangan Islam, zina dikategorikan perbuatan keji dan termasuk dosa besar. Namun, dalam sistem kapitalisme yang berprinsip sekuler, agama bukan lagi menjadi dasar pertimbangan dalam mengambil hukum dan kebijakan. Aktivitas seksual dikategorikan sebagai urusan individu, yang mana negara tidak berhak ikut campur di dalamnya. Semua dikembalikan pada cara pendidikan dan aturan dalam masing-masing keluarga. Negara hanya menyediakan payung hukum apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan melaporkan diri sebagai korban.
Secara tidak langsung, negara telah menjadi perantara merebaknya zina di tengah masyarakat. Memang di zaman sekarang, fenomena seks bebas bukan hal yang langka. Sekularisme yang memisahkan kehidupan dari agama, telah berhasil menjauhkan umat dari agamanya sendiri.
Pemicu maraknya zina begitu mudah ditemui lewat media, hiburan, bacaan, publik figur yang menampilkan gaya hidup bebas, serta kemudahan mengakses lewat gadget yang dimiliki semua orang, termasuk anak-anak. Terlebih, negara yang terus melakukan pembiaran, tanpa adanya hukum yang secara mutlak melarang perzinahan. Negara tidak tegas dan tuntas dalam memberantas konten-konten vulgar maupun pornografi.
Maka, seperti yang pernah disampaikan oleh Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu, “Tidaklah muncul perzinahan di sebuah negeri, kecuali Allah mengumumkan kehancurannya.”
Rasulullah salallahu alaihi wasallam bersabda: “Bila zina dan riba merajalela di sebuah negeri, berarti mereka mengundang kedatangan azab Allah.” (HR. Thabrani, hadits Hasan)
Sungguh, perkara zina bukanlah perkara yang ringan dosanya di hadapan Allah Subhanahu wa ta'ala. Seharusnya, penguasa yang memimpin umat Islam memiliki rasa takut apabila di negeri yang dipimpinnya terjadi banyak perzinahan. Sehingga dengan kewenangannya, para pemimpin itu membuat aturan tegas, yang menutup semua pintu bagi munculnya dosa zina. Meskipun perilaku zina masih bisa terjadi, negara akan menjatuhkan hukuman yang menjerakan.
Sayangnya, kepemimpinan yang bisa melakukan itu hanyalah pemimpin yang menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Itulah kepemimpinan Islam yang disebut Al Khilafah Islamiah. Wallahu a'lam bishawab.