Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
Tintamedia-- Panik, kondisi keuangan negara memburuk. Pemerintah mencari solusi untuk menambah pemasukan kas negara dengan memberikan kelonggaran impor miras karena dinilai sebagai komoditi yang paling cepat mendatangkan keuntungan. Namun, banyak kontra atas kebijakan ini, di antaranya MUI mengkritisi aturan kemendag soal impor miras yang dilonggarkan karena dapat merusak anak bangsa.
Permendag RI No. 20 tahun 2021 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor terlihat sangat memihak pada kepentingan wisatawan asing dengan tujuan agar mereka datang ke Indonesia. Hal tersebut jelas merusak moral anak bangsa akibat terwarnai dan terkontaminasi perilaku dan budaya asing, terlebih karena banyaknya peredaran miras yang dibutuhkan wisatawan mancanegara dan interaksi mereka dengan anak bangsa.
Selain merusak dari segi budaya dan perilaku, miras juga merusak kesehatan generasi penerus bangsa. Untuk itu, masyarakat harus menolak secara menyeluruh masuknya miras berapa pun jumlahnya. Masyarakat juga harus menentang produksi dan distribusi miras dengan alasan apa pun karena bertentangan dengan syariat.
Yang pasti, apa pun alasannya, sudah seharusnya negara memberikan perlindungan pada rakyat dari hal-hal negatif, termasuk terbebas dari miras, bukan malah menjerumuskan rakyat ke dalam lingkungan ‘hitam’ hanya demi pendapatan. Naudzubillah ....
Faktanya, rakyat membutuhkan peran negara untuk menjaga kesehatan dan mental generasi bangsa, sebagai penerus pemimpin umat. Namun, dalam sistem kapitalisme, kesehatan dan akhlak manusia yang merupakan dasar penerus bangsa tidak diutamakan. Terbukti, dalam masalah miras, negara membiarkan para pengusaha berlomba-lomba mengambil keuntungan besar dari bisnis haram ini.
Ironisnya, pemerintah memfasilitasi dengan harapan turis yang doyan konsumsi miras berdatangan menghantarkan pundi-pundi dolar yang tidak disadari juga akan menghantarkan penyakit kelamin dan penyakit moral ke tengah-tengah masyarakat. Yang sangat menyedihkan, tak ada sanksi hukum apa pun terhadap para pejabat negara dan koleganya yang membisniskan barang haram ini. Dalam hal ini, terlihat jelas mereka telah melakukan penyimpangan kekuasaan. Astaqfirullah ....
Padahal, dalam Islam negara mempunyai kewajiban mengurusi rakyat dan melindunginya. Ini sesuai dengan sabda Rasul saw.:
الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ù…َسْؤُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡
“Pemimpin negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari).
Memang, pemberian jaminan perlindungan kepada rakyat sangat membutuhkan dana yang sangat besar. Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, seperti hasil hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber lain, seperti kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara, dan sebagainya. Semua itu lebih dari cukup untuk bisa dijadikan sebagai pemasukan kas negara tanpa membawa-bawa bisnis yang haram.
Tentunya, membisniskan barang seperti miras adalah termasuk kategori haram, apalagi dilakukan oleh para pejabat negara dengan memanfaatkan jabatan. Seharusnya pejabat negara menjadi pelindung rakyat, bukan malah menjerumuskan rakyat demi pendapatan negara. Namun, miras menjadi solusi negara kapitalis menambah pendapatan tanpa melihat halal haram.[]