Oleh: Wahyudi al Maroky (Dir. Pamong Institute)
Tintamedia.web.id --Perbincangan tentang Khilafah semakin marak di ranah publik. Mulai dari kalangan akademisi, para pengusaha, aparat penegak hukum, hingga para pejabat tinggi negeri. Tak terkecuali Menteri Agama ikut membahas Khilafah.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan perlunya rekontekstualisasi fikih Islam yang dianggap telah berhenti atau berakhir semenjak Abad Pertengahan silam. Salah satunya adalah soal ide khilafah yang dinilai hanya menjadi bencana bagi umat Islam. Gagasan itu Yaqut sampaikan pada Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) Ke-20 yang digelar di Surakarta, Jawa Tengah pada 25 hingga 29 Oktober 2021 dengan tema “Islam In A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy”. (tempo.co. 26/10/2021)
Menanggapi pernyataan tersebut, penulis hendak memberikan dua catatan penting. Pertama dari sudut pandang fakta kekinian dan kedua, sudut pandang sejarah.
PERTAMA; Sisi realitas fakta kekinian. Pernyataan bahwa khilafah hanya menimbulkan bencana bagi umat islam, jelas tak sesuai realitas. Bukankah bencana kemanusiaan yang kini dialami umat islam di Palestina karena serangan brutal Israel itu terjadi tidak disebabkan oleh Khilafah? Demikian pula, Bencana kemanusiaan yang menimpa umat islam Uyghur di Cina, jelas bukan karena Khilafah. Bahkan Cina menggunakan sistem komunis, bukan khilafah. Bencana kemanusiaan di Irak dan Suriah hingga ribuan jiwa tewas dan mengungsi, juga bukan karena khilafah, justru mereka menggunakan sistem Republik. Bencana kemanusiaan Muslim Rohingya sehingga menjadi manusia kapal dan mengungsi diberbagai negara, itu juga bukan karena khilafah. Lalu atas dasar apa menyatakan khilafah jadi bencana bagi umat islam.
Baiklah, Jika yang dimaksud bukan sekedar bencana kemanusiaan tapi bencana alam maka itu pun tak sesuai fakta. Bukankah adanya bencana Gempa Bumi, tanah longsor, sekolah ambruk, kebakaran hutan, kebanjiran, dll. Apakah bencana itu timbul karena kita menggunakan khilafah? Tentu jawabannya tidak. Karena kita tahu betul, negeri ini jelas menggunakan sistem republik yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bukan Khilafah.
Lalu, ada sebagian orang yang menyatakan bahwa jika khilafah diterapkan maka akan mengancam persatuan Indonesia. Konon sebagian daerah akan minta pisah dari NKRi terutama wilayah timur. Pernyataan ini, jelas tak sesuai Fakta.
Realitas yang ada, kini kita tidak menggunakan khilafah, tapi ada OPM (organisasi Papua Merdeka) yang ingin merdeka. Padahal saat ini justru kita sedang menggunakan sistem demokrasi dan bukan Khilafah. Jadi jelas adanya keinginan berpisah itu bukan karena Khilafah. Bahkan ada daerah yang sudah terpisah, seperti Timor-Timur, itu juga pisah dari NKRI bukan karena khilafah. Juga hilangnya dua pulau (Sipadan dan Ligitan) itu juga bukan karena khilafah. Bahkan Utang negara yang menggunung juga bukan karena khilafah. Tambang emas di Papua tak bisa dikelola sendiri dan Berbagai tambang kekayaan alam negeri ini dikuasai perusahaan asing juga bukan karena khilafah.
KEDUA; Sisi Realitas sejarah. Dalam catatan sejarah, justru Khilafah bukan sumber bencana. Bahkan sebaliknya menjadi Rahmat bagi semesta alam. Penerapan syariat Islam oleh para Khalifah kala itu, berhasil menciptakan keadilan, kesetaraan, dan rasa aman bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun non Muslim.
Karen Amstrong, dalam bukunya Holy War, menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Khalifah Umar bin Khathathab kira-kira sebagai berikut, “Pada tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar dibawa segera ke Haram al-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Mohammad saw melakukan perjalanan malamnya. Sang uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berfikir, ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel. Pastilah, Umar ra adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan pembantian dan menandai datangnya Hari Kiamat.. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti.” Setelah itu, penduduk Palestina hidup damai, tentram, tidak ada permusuhan dan pertikaian, meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda, Islam, Kristen, dan Yahudi.
Demikian juga saat pembebasan Palestina yang kedua. Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem ini dengan kata-kata berikut ini, “Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Dia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang Al-Qur’an anjurkan (16:127), dan sekarang, karena permusuhan dihentikan, ia menghentikan pembunuhan (2:193-194)”.
Demikian pula, Tatkala Nabi Muhammad Saw menegakkan Daulah Islam (Negara Islam) di Madinah, struktur masyarakat Islam saat itu tidaklah seragam, bahkan kaum muslim saat itu jumlahnya minoritas. Masyarakat Madinah saat itu dihuni oleh kaum Muslim, Yahudi, Nashrani, dan juga kaum Musyrik. Namun, mereka bisa hidup bersama dalam naungan Daulah Islamiyyah dan di bawah otoritas hukum Islam. Entitas-entitas selain Islam tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam. Mereka mendapatkan perlindungan dan hidup berdampingan satu dengan yang lain tanpa ada intimidasi dan gangguan. Bahkan Islam telah melindungi “kebebasan mereka” dalam hal ibadah, keyakinan, dan urusan-urusan privat mereka. Mereka dijamin kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka. Masyarakat madani seperti ini terlihat jelas dalam konstitusi, Piagam Madinah (madinah Charta) yang dicetuskan oleh Rasulullah SAW pada tahun 622M.
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, tugas kenegaraan dan pengaturan urusan rakyat dilanjutkan oleh para khalifah. Kekuasaan Islam pun meluas hingga mencakup hampir 2/3 dunia, membentang mulai dari Jazirah Arab, jazirah Syam, Afrika, Hindia, Balkan, dan Asia Tengah. Para Khalifah tetap menjamin keragaman dan kebhinekaan yang ada.
Sejarah juga mencatat, Pada tahun 1519 Masehi, pemerintahan Islam memberikan sertifikat tanah kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman inkuisisi Spanyol.
Pemerintah Amerika Serikat pun pernah mengirimkan surat ucapan terima kasih kepada Khilafah Islamiyyah atas bantuan pangan yang dikirimkan kepada mereka pasca perang melawan Inggris. Surat jaminan perlindungan juga pernah diberikan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari suaka politik ke Khalifah pada tanggal 30 Jumadil Awwal 1121 H/7 Agustus 1709 H.
Pada tanggal 13 Rabiul Akhir 1282/5 September 1865, khalifah memberikan izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah berimigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah khalifah. Sebab, di Rusia mereka tidak mendapatkan kesejahteraan hidup.
Inilah sebagian catatan sejarah yang menunjukkan, khilafah bukanlah ancaman apalagi difitnah sebagai bencana. Sangat tergambar jelas, tidak ada pemaksaan atas non Muslim untuk masuk Islam, dan tidak ada pengusiran terhadap non Muslim dari wilayah kekuasaan Islam. Mereka dijamin keamanannya untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing. Rumah ibadah mereka (gereja, biara, dan tempat-tempat peribadatan orang-orang kafir lainnya) dijamin keamanannya oleh para khalifah.
Walhasil, Islam tidak akan memaksa non Muslim untuk masuk ke dalam agama Islam. Mereka juga tidak dipaksa untuk menyakini dan membenarkan keyakinan Islam. Oleh karena itu, agama dan keyakinan kaum Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, Majuzi, Zoaroaste, Atheis (sosialis), Sekuleris, dll mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan. Pemeluknya juga dijamin kebebasannya untuk melaksanakan ritual-ritual agamanya tanpa ada intimidasi, pemaksaan, maupun apa yang disebut dengan uniformisasi peribadatan. (Panduan Memahami Khilafah-MKK, hal.123).
Lalu atas dasar apa menuding khilafah berbahaya bahkan sebagai bencana? Mari kita kembangkan sikap jujur. Jujur dalam berfikir dan bertindak untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Semoga negeri ini dijauhkan dari bencana dan menjadi makmur penuh barokah….
*)Disarikan dari Buku ¬Panduan Lurus Memahami Khilafah Islamiyyah Menurut Kitab Kuning.
NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-4, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.