Tintamedia.web.id --Hasil Ijtimak Komisi Fatwa MUI yang menyebut republik di Indonesia termasuk model kepemimpinan dalam Islam dinilai Jurnalis Joko Prasetyo bertentangan 180 derajat.
“Setidaknya ada tujuh alasan yang menegaskan sistem pemerintahan republik yang diterapkan di Indonesia bukanlah mencakup model kepemimpinan dalam Islam. Justru bisa dikatakan bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan Islam,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (11/11/2021).
Pertama, menurut Om Joy, sapaan akrabnya, republik di Indonesia identik dengan demokrasi yang secara konsep meniscayakan kedaulatan di tangan rakyat apalagi secara de facto kedaulatan ada di tangan kafir penjajah dan oligarki. Sedangkan dalam sistem pemerintahan khilafah, kedaulatan di tangan As-Syaari' (Allah SWT). Allah SWT berfirman dalam surat Yusuf ayat 40, yang artinya: ‘Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah’,”ujarnya.
“Maka tak aneh, meski Indonesia mengakui Ketuhanan yang Maha Esa dan kemerdekaan berkat rahmat Allah yang Mahakuasa tetapi aturan dari Tuhan yang Maha Esa alias Allah yang Mahakuasa tidak diterapkan secara kaffah baik dalam bidang akidah, ibadah maupun muamalah. Karena kedaulatannya secara de jure ada di tangan rakyat dan secara de facto ada di kafir penjajah dan oligarki,” jelasnya.
“Sedangkan dalam sistem pemerintahan khilafah, kedaulatan di tangan As-Syaari' (Allah SWT). Sangat sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS Yusuf [12]: 40,” tegasnya.
Kedua, sumber hukum republik/demokrasi di Indonesia campur aduk antara yang hak dan batil. Bahkan bisa dikatakan terlalu banyak batilnya.
“Dalam republik/demokrasi di Indonesia syariat Islam bisa jadi sebagai salah satu bukan sebagai satu-satunya sumber hukum sehingga tercampurlah antara yang hak (syariat Islam) dan yang batil (bukan syariat Islam). Sedangkan dalam khilafah, syariat Islam sebagai satu-satunya sumber hukum. Dalam surah Al-Baqarah ayat 42 disebutkan, dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui,” ujarnya.
Ketiga, tugas kepala negara republik/demokrasi di Indonesia menerapkan aturan buatan manusia. “Dalam negara republik/demokrasi di Indonesia, kepala negara (presiden) secara de jure bertugas untuk menerapkan aturan buatan manusia (DPR) secara de facto bertugas menerapkan aturan buatan kafir penjajah dan oligarki. Sedangkan dalam khilafah kepala negara (khalifah/imam/amirul mukminin) bertugas untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah,” terangnya.
Om Joy mengutip surah Al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 yang menyebutkan bahwa barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (44), zalim (45) dan fasik (47).
Keempat, masa jabatan kepala negara republik/demokrasi di Indonesia periodik. “Dalam sistem republik/demokrasi di Indonesia masa jabatan presiden periodik lima tahun sekali. Sedangkan dalam khilafah tidak ada periodeisasi, diganti hanya ketika melanggar syariat atau berhalangan menegakkan syariat,” jelas Om Joy.
Ia mengutip hadis riwayat al-Bukhari yang artinya, dengar dan taatilah pemimpin kalian sekali pun yang memimpin adalah seorang budak hitam, yang kepalanya seperti dipenuhi bisul. “Dalam riwayat lain, yakni riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain, dinyatakan: ‘(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah’,” ujarnya.
Keempat, republik/demokrasi memecahbelah kaum Muslim Indonesia dengan kaum Muslim di belahan dunia lainnya. “Kepala negara dalam demokrasi merupakan pemimpin negara bangsa, sehingga kaum Muslim saat ini terpecah ke dalam lebih dari 57 negara bangsa (baik kerajaan maupun republik). Kepala negara dalam khilafah merupakan kepemimpinan umum kaum Muslim sedunia dan menyatukan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia,” ungkapnya.
Ia mengutip hadis riwayat Muslim dari Abu Sa’id al Khudri yang menyebut, jika dibai'at dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. “Maknanya, kaum Muslim haram dipimpin oleh lebih dari satu pemimpin,” tegasnya.
Keenam, demokrasi tidak sesuai dengan misi penciptaan manusia. “Dalam demokrasi taat kepada presiden tidak termasuk ibadah malah terkategori maksiat. Alasannya sudah disebutkan pada poin pertama, kedua dan ketiga,” ujarnya.
Ketujuh, sanad demokrasi tidak nyambung ke Nabi dan Khulafaur Rasyidin. “Penerapan demokrasi dicontohkan kaum kafir yang pasti masuk neraka. Sedangkan penerapan khilafah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahuanhum) yang dijamin masuk surga. Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi disebutkan: ‘Wajib atasmu memegang teguh Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara-perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah sesat’,” jelasnya.
Kendati demikian, kata Om Joy, ijtimak Komisi Fatwa MUI yang menegaskan khilafah sebagai model kepemimpinan dalam Islam patut diapresiasi karena memang itu benar adanya. “Khilafah, memang benar merupakan model kepemimpinan dalam Islam,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it