Fatwa Wajib Mengacu  pada Dalil-Dalil Syariah, Catatan Kritis Hasil Ijtima’ Ulama - Tinta Media

Senin, 15 November 2021

Fatwa Wajib Mengacu  pada Dalil-Dalil Syariah, Catatan Kritis Hasil Ijtima’ Ulama

JANGAN TAKUT MENDAKWAHKAN KHILAFAH

Oleh:Irianti Aminatun
(Lingkar Studi Islam Strategis)

Tintamedia.web.id -- Ijtima’ Ulama MUI yang  bertajuk ‘Optimalisasi Fatwa untuk Kemaslahatan Bangsa‘ telah usai digelar. Ada dua belas fatwa yang disepakati dalam ijtima tersebut.

Dalam penutupan acara, Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar mengatakan "Peran ulama sangat penting untuk membahas dan menetapkan fatwa atau produk hukum mengenai ketentuan menjalani kehidupan umat muslim di Indonesia." Ia juga menjelaskan, kebutuhan akan ketegasan hukum syariah sangat dibutuhkan apalagi di masa pandemi, banyak aturan syariat keagamaan yang harus disesuaikan untuk ditetapkan, seperti hukum pernikahan on line dan lain sebagainya. (Kumparan.com)

Keinginan MUI untuk menetapkan produk hukum syariah  dalam menjawab permasalahan yang berkembang, patut diapresiasi. Sebab, meski mata air syariat  Islam mampu menjawab seluruh permasalahan manusia, tidak semua mata air tersebut siap saji untuk menjawab permasalahan. Dibutuhkan peran mujtahid/ulama untuk menggali hukum agar permasalahan baru bisa dihukumi dengan hukum syariat.

Meski demikian, Islam memiliki metode tertentu dalam menggali hukum agar produk hukum tidak keluar dari sumber utamanya, Al-Qur'an dan as-Sunah.

Produk hukum/fikih adalah ilmu tentang hukum syariat yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Acuan dalam menggali hukum fikih adalah dalil sam’i, bukan dalil akli. Sebab,  hukum fikih  itu terkait dengan pahala dan dosa, sementara pahala dan dosa bersifat gaib. Akal tidak mampu  menentukan apakah suatu perbuatan itu mengandung pahala atau dosa. Yang mengetahui bahwa sebuah perbuatan itu mengandung pahala atau dosa hanyalah Allah Swt. Oleh karena itu,  dalam menggali hukum fikih,  wajib hanya  menyandarkan pada dalil-dalil sam’i yaitu Al-Qur'an dan sunah, bukan akli.

Berdasar alur berpikir di atas, sudah seharusnya kita mengkritisi apakah produk hukum yang difatwakan oleh MUI disandarkan pada dalil-dalil sam’i atau berdasar pada akal. Hal ini penting agar umat tidak terjerumus untuk mengikuti fatwa yang keliru yang menghantark pada dosa di hadapan Allah swt.

Di  antara produk hukum hasil ijtima’ yang perlu dikritisi adalah “Khilafah bukan satu-satunya model/sistem kepemimpinan yang diakui dan dipraktikkan dalam Islam. Dalam dunia Islam,  terdapat beberapa model/sistem pemerintahan, seperti monarkhi, keemiran, kesultanan, dan republik”.

Ini jelas fatwa yang menyesatkan umat. Hal ini karena Islam hanya mengenal satu bentuk pemerintahan, yaitu Daulah Islam atau Daulah Khilafah. Khilafah adalah kepemimpinan umum kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Khilafah disebut juga imamah. Hadis-hadis sahih telah menyebut dua kata ini dengan arti yang sama. Tidak ada penyebutan lain dalam Al-Qur'an, as-Sunah ataupun Ijma Sahabat terkait kepemimpinan ini selain dua istilah di atas yang bermakna sama.

Mengangkat seorang khalifah hukumnya wajib berdasar Al-Qur'an, Sunah dan Ijma’ Sahabat. Dalil dari Al-Qur'an semisal Allah telah memerintahkan Rasulullah untuk memutuskan perkara di antara kaum muslimin dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah. (TQS al-Maidah: 48, 49).

Sekalipun ayat tersebut ditujukan kepada Rasul, tetapi juga berlaku bagi umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan bagi beliau. Di sini,  dalil pengkhususan tersebut tidak ada. Dengan demikian, seruan ayat ini adalah seruan kepada kaum muslimin untuk menegakkan hukum. Mengangkat khalifah tidak memiliki arti selain menegakkan hukum dan kekuasaan.

Sedangkan dalil dari Sunnah, misalnya Imam Muslim telah meriwayatkan:
”Barang siapa melepaskan tangan dari ketaatan, maka dia akan menemui Allah pada hari kiamat sedang dia tidak memiliki hujjah. Dan barang siapa mati, sedang di lehernya tidak terdapat sebuah baiat, maka dia mati seperti kematian jahiliyah.”

Nabi saw. mewajibkan atas setiap kaum muslimin agar ada baiat di pundaknya. Beliau menggambarkan bahwa orang yang mati, sementara di lehernya tidak ada baiat adalah seperti kematian jahiliyah. Dan baiat tidak ada kecuali untuk khalifah, bukan yang lain.

Sedang dalil dari Ijma’ Sahabat adalah mereka telah berijma atas wajibnya mengangkat khalifah setelah Rasulullah wafat. Ini tampak pada kenyataan bahwa mereka menunda pemakaman Rasulullah saw. setelah beliau wafat, dan mereka sibuk untuk mengangkat pengganti beliau.

Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan Allah hanyalah  khilafah, bukan yang lain.

Adapun fatwa MUI yang menyatakan bahwa dalam dunia Islam terdapat beberapa model/sistem pemerintahan, seperti monarkhi, keemiran, kesultanan dan republik adalah fatwa yang menyalahi dalil syariah.

Jika pun kaum muslimin pernah menerapkan pemerintahan monarkhi atau republik, atau yang lain, itu masuk dalam kategori fakta sejarah. Sejarah  tidak boleh dijadikan sebagai sumber rujukan bagi peraturan dan fikih. Hal ini karena sejarah bukan sumber hukum. Sejarah hanyalah rangkaian peristiwa yang bisa saja menyalahi hukum syariah.

Kelahiran fatwa itu tidak lepas dari semangat moderasi beragama. Tak bisa dimungkiri, setelah kekhilafahan runtuh, kaum muslimin tak lagi mengadopsi Islam sebagai solusi kehidupan. Kaum muslimin mengambil aturan dari ideologi lain untuk memecahkan masalah kehidupannya. Islam hanya diposisikan untuk menjawab persoalan ibadah mahdhah saja. Konsep Islam di bidang politik dianggap tak mampu merespon tantangan zaman, radikal, ekstrim hingga perlu dimoderasi.

Moderasi Islam di Indonesia ditandai dengan adanya komitmen kebangsaan. Berdasarkan komitmen itu, wajar kalau ijtima ulama terkait khilafah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia menetapkan:

  1. Pada dasarnya sistem kepemimpinan dalam Islam bersifat dinamis sesuai dengan kesepakatan dan pertimbangan kemaslahatan, yang ditujukan untuk kepentingan kepentingan menjaga keluhuran agama (hirasati al-din) mengatur urusan dunia (siyasati al-duniya). Dalam sejarah peradaban Islam, terdapat berbagai model/sistem kenegaraan dan pemerintahan serta mekanisme suksesi kepemimpinan yang semuanya sah secara syar’i.

  2. Khilafah bukan satu-satunya model/sistem kepemimpinan yang diakui dan dipraktikkan dalam Islam. Dalam dunia Islam, terdapat beberapa model/sistem pemerintahan, seperti monarki, keemiran, kesultanan, dan republik.

  3. Bangsa Indonesia sepakat membentuk negara kesatuan yang berbentuk republik sebagai ikhtiar maksimal untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Semangat moderasi beragama adalah bagaimana Islam harus sesuai dengan tantangan zaman, bukan zaman yang harus tunduk pada Islam. Moderasi agama hakikatnya adalah liberalisasi, menafsirkan wahyu sesuai kehendak akal. Moderasi islam hakikatnya adalah meninggalkan Islam, meninggalkan warisan intelektual islam dan membangun pemahaman baru.

Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, sudah seharusnya kita bersikap hati-hati dalam melihat fatwa, apakah fatwa itu mengacu pada  ketentuan dalil-dalil  syariah atau  berdasar akal. Kita hanya wajib mengikuti fatwa yang sesuai dengan dalil-dalil syariah. Sebab, pilihan kita kelak akan dimintai pertanggungjwaban di hadapan Allah swt. Wallahu a’lam bi shawab.

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :