Berhenti Merokok, Why Not? - Tinta Media

Minggu, 21 November 2021

Berhenti Merokok, Why Not?

Berhenti Merokok, Why Not?

Oleh: L. Nur Salamah, S.Pd
(Kontributor Media)

2006
Ketetapan Allah berbicara sebaliknya. Aku dekat dengan sosok lelaki yang parasnya lumayan ganteng, salah satu mahasiswa jurusan teknik perkapalan ITATS. Sikapnya sedingin salju, cukup menarik bagiku.

Sebagai mahasiswi jurusan pendidikan, aku memang tak mau dan tak ingin berpacaran dengan sesama mahasiswa jurusan kependidikan. Bagiku, tidak ada yang wow. (Zaman jahiliah dulu).

Seiring waktu berjalan, makhluk Kutub Utara ini mempunyai tempat tersendiri di hatiku. Karakterku yang cenderung agresif, makin membuatku penasaran dengannya.

"Kalau gak bisa merengkuh cintamu, jangan sebut namaku," gumamku dalam hati.

Semakin hari, semakin sering aku berinteraksi dengan orang ini. Kesal dan penasaran menyelimuti perasaanku. Tanpa disadari, aku telah jatuh cinta. Sayangnya, dia tidak seperti pemuda pada umumnya. Dia adalah orang yang anti dan alergi dekat dengan perempuan. Yang aku tahu, ini adalah manusia sombong yang pernah kutemui.

Perkenalan yang singkat, tak pernah terbayangkan sebelumnya. Jangankan ucapan cinta, berboncengan denganku saja tak mau. Seolah mimpi, tetapi inilah kenyataan. Dia datang ke rumah, menyampaikan bahwa dia ingin dan akan menikahiku.

Bak disambar petir di siang bolong, antara percaya dan tidak percaya. Aku yang punya impian tak ingin menikah sebelum lulus kuliah, kerja, punya rumah dan lain sebagainya, ternyata harus kandas di tengah jalan.

Akhirnya ada beberapa persyaratan yang kuajukan, salah satunya untuk berhenti merokok. Dia berjanji, akan berhenti merokok setelah menikah. Sebulan dari proses kenalan dengan keluarga, kami menikah. Kami menjalani kehidupan yang penuh liku.

Perang batin karena ketidaksamaan visi misi hidup dan goncangan ekonomi di awal pernikahan, membuat kami berpisah untuk sementara. Dia pergi ke Batam untuk mengundi nasib, sementara aku tetap melanjutkan kuliah di Surabaya (UNESA).

2007
Aku menagih janji tiga bulan sebelumnya, untuk berhenti merokok, ternyata nihil. Kekesalan mulai mewarnai hubungan kami. Dia berjanji lagi, nanti kalau aku hamil akan berhenti merokok. Janji ke janji, hanya sebatas janji tanpa bukti.

2008
Suatu ketika, aku lupa untuk membelikan rokok untuknya. Dia emosi dan sempat terucap, "Kalau kayak gini, aku mau cari yang lebih perhatian lagi sama aku."

Dia mengucapkan hal itu sambil menyalakan motor di tengah malam, kurang lebih sekitar pukul 00.30 WIB untuk pergi ke Sagulung, membeli rokok.

Sebagai pasangan muda, apalagi posisiku sedang menyusui bayi, omongan itu tidak terlalu kutanggapi. Hanya muncul perasaan, "Ternyata dia lebih cinta rokok daripada aku dan anaknya."

2011
Suatu ketika, dia sakit lumayan serius, demam dan batuk sehingga merasa tak enak makan maupun merokok dalam waktu beberapa hari. Akhirnya, dia sempat berhenti merokok hampir setahun.

Kadarullah, aku harus pulang ke Jawa dengan Naila sekitar sepuluh hari tanpa ditemani olehnya. Ternyata, ketika aku kembali ke Batam, kebiasaan buruk itu kembali, tetapi dilakukan sembunyi-sembunyi. Aku mengetahui hal itu karena saat masuk kamar mandi, tercium bau rokok. Ketika kutanya, dia masih berusaha untuk menyembunyikan. Bagaimanapun, tak bisa dimungkiri, akhirnya dia jujur. Rasa kesal dan emosi tingkat dewa telah menyelimuti perasaanku. Berbagai upaya telah kucoba, tak kunjung ada hasilnya.

2013
Waktu itu, aku bekerja sebagai staf pengajar di lembaga pendidikan Islam. Teman-teman di kantor memandang suami sebagai orang yang hanif. Namun, ada sebagian merasa terkejut.

"Lo, ayahnya Naila merokok, ya, Buk Nur?" tanya salah satu teman sejawat.
"Iya, Buk," jawabku singkat.

Aku paham, pertanyaan itu penuh makna, antara tidak percaya dan image kurang baik terhadap orang yang merokok.

Sesampainya di rumah, aku mencoba bercerita pada suami terkait hal itu, dengan harapan ada sikap untuk berubah di sela-sela aktivitas, sambil ngobrol.

"Yah, tadi Buk Eli kaget loh, lihat Ayah merokok." Pertanyaan pembuka aku layangkan.

"Kenapa?" jawab suami singkat.

"Iyalah, orang di Hidayatullah tidak dijumpai syabab yang merokok."

Aura suami sudah mulai berubah. Berbagai argumentasi mulai disampaikan, termasuk penjelasan hukum dan kyai yang menjadi panutan.

Beliau menjelaskan tentang hukum asal suatu barang dan perbuatan itu mubah, sebelum ada dalil yang mengharamkannya. Beliau juga memberikan contoh beberapa kyainya yang juga merokok. Aku pribadi pernah menyaksikan bahwa sebagian kalangan tidak mempermasalahkan tentang merokok.

Karena keterbatasan tsaqofah, aku tak punya hujah untuk memberikan argumentasi balasan. Diam adalah pilihan terbaik. Namun, hati ini penuh gejolak. Masak iya, sesuatu yang banyak mudaratnya diperbolehkan?

Dari segi kesehatan, jelas merugikan, baik bagi diri perokok maupun orang lain. Belum lagi aroma badan yang tidak mengenakkan. Selain itu, merokok menyebabkan pemborosan keuangan dan efek bagi orang-orang di sekitarnya.

Ibaratnya, mulut sudah sampai berbusa, ternyata tidak ada pengaruh bagi suamiku. Akhirnya, sebagai manusia biasa, aku sudah lelah untuk mengingatkan. Aku belajar untuk terus menata hati, agar tidak merasa kecewa.

Sembari terus belajar dan introspeksi, aku berusaha untuk memperbaiki diri. Berbagai kajian ilmu aku datangi untuk meningkatkan kedekatan kepada Ilahi Robbi. Ada hal yang mengingatkan diriku, sebuah kata-kata yang terus terngiang.

"Sukses dan kebaikan suami adalah karena istri, hancurnya suami juga karena istri."

Kemudian aku pernah membaca arti salah satu ayat Al-Qur'an yang berbunyi,

"Laki-laki yang baik, untuk perempuan-perempuan yang baik pula, begitu sebaliknya."

Akhirnya aku benar-benar bisa mengikhlaskan keberadaan suamiku sebagai perokok. Seiring berjalannya waktu, alhamdulillah, rumah kontrakan kami tepat di sebelah Masjid Babussalam, Perumahan Victoria. Ketika suara azan Subuh memanggil, pastilah semua beranjak dari lelap tidur. Aku mulai merasa ada kebaikan yang bertambah dalam rumah tangga kami. Suami tidak pernah meninggalkan jamaah, aku dan anak-anak juga tidak pernah meninggalkan salat.

Pada saat peringatan hari besar Islam, masjid Babussalam mendatangkan seorang ustaz. Kalau tidak salah, namanya Ustaz. Candra. Pas sekali, yang dibahas perihal kepemimpinan suami, termasuk membahas rokok di dalamnya.

"Pas banget," gumamku dalam hati. Akan tetapi, tidak aku sampaikan ke suami.

Di awal hijrah, Alhamdulillah aku dipertemukan dengan kelompok dakwah ideologis sekitar tahun 2013. Jadi, setiap amal dan perbuatan tolak ukurnya adalah hukum syara'.

Sebenarnya, suamiku pun adalah aktivis dakwah sejak di kampus. Jabatannya sebagai ketua BKLD tingkat Surabaya. Aku yang masih buta terkait pergerakan dakwah, merasa alergi dengan yang berbau Islam. Karena kejahilanku itulah, bisa jadi berpengaruh terhadap sikap dan perilaku suamiku.

2014
Masih tinggal di rumah kontrakan, Victoria, seperti biasa, rokok tak pernah absen kusediakan di atas kulkas. Tanpa kusadari, ternyata sampai tiga hari rokok itu bertumpuk.

"Bun, kembalikan saja rokok ini ke tempat Mak Wo!" ucap datar dari suamiku selepas salat Maghrib.

"Kenapa, Yah? Dapat bonus dari Subcont, ya?" jawabku penuh dengan tanda tanya.

"Ayah sudah gak merokok lagi, sudah tiga hari ini." Penjelasan diberikan kepadaku.

"Halah! Gombal! Mana ada itu?" celotehku karena tidak percaya dan merasa tidak mungkin. Paling-paling dia cuma bercanda.

"Iya Bun, beneran. Ayah sudah niat. Tekad Ayah sudah bulat untuk tidak lagi merokok."

Aku masih bengong dan bertanya-tanya dalam hati.

"Apakah aku tidak sedang bermimpi?" tanyaku masih berselimut keraguan.

Kujalani hari-hari seperti air yang mengalir, sehari, seminggu hingga sebulan. Ternyata memang benar, suamiku benar-benar telah keluar dari aktivitas merokok. Kemudian aku bertanya perihal apa yang membuatnya benar-benar bisa melepas rokok yang telah menjadi candu itu.

Beliau menceritakan bahwa ada rekan sejawat_aku tidak ingat siapa namanya. Yang jelas, orang itu adalah orang yang taat dan dekat kepada Allah, sama-sama bekerja di PT. Citra Shipyard. Saking peduli dan sayangnya pada suamiku, hampir setiap hari dia tidak lelah untuk mengingatkan.

"Apa untungnya kamu merokok?"

"Berapa uang yang harus kamu keluarkan tiap bulan untuk beli rokok?"

"Apakah kamu tidak sayang dengan badan dan kesehatanmu?"

"Masih sayangkah kamu dengan istri dan anak-anakmu?"

Dan lain sebagainya. Akan tetapi, hanya beberapa kalimat itu yang masih kuingat dari cerita suami. Di samping itu, dia juga melihat ada video yang menunjukkan betapa rusak dan hancurnya paru-paru akibat merokok. Warnanya hitam pekat.

Beberapa hal itulah yang menjadi wasilah suamiku lepas dari candu rokok. Yang jelas, doa terus kupanjatkan kepada Yang Menggenggam hatinya, Allah Swt.

Ketika Allah sudah lembutkan hati, maka yang mustahil menjadi mungkin. Sebagai istri, aku terus berusaha melayakkan diri menjadi pendamping yang baik baginya, taat dan mengabdikan diri kepadanya. Hakikat cinta istri kepada suaminya adalah ketaatan dan pengabdian, berharap suami merasa tenteram dan nyaman di samping kita karena rida-Nya.[]

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :