Sabtu, 18 Mei 2024
Terjerat Pinjol, Rakyat Makin Terseret Gaya Hidup Konsumtif
Bea Cukai, Denda Melebihi Harga
Tinta Media - Beberapa minggu ini berita mengenai Bea Cukai ramai diperbincangkan. Hal ini disebabkan Bea Cukai mengenakan biaya masuk (Bea Cukai) terhadap barang yang berasal dari negara lain (impor) dengan tarif yang melebihi harga dari barang itu sendiri. Kita bisa lihat dari tiga kasus yang viral. Pertama, kasus sepatu impor yang dibeli seharga Rp.10 juta dikenakan bea masuk sebesar Rp.31,8 juta. Kedua, Pengiriman barang mainan robot yang dikirim untuk konten review oleh Youtuber Medy Renaldy dikenakan bea masuk yang berbeda dengan harga yang sebenarnya. Dan yang ketiga, terdapat barang impor berupa keyboard sebanyak 20 buah yang sebelumnya diberitakan sebagai barang kiriman oleh Perusahaan Jasa Titipan (PJT) pada 18 Desember 2022. Adapun belakangan baru diketahui ternyata barang kiriman tersebut merupakan barang hibah. Setalah 2 tahun, baru lah diserahkan barang tersebut kepada sekolah SLB yang bersangkutan.
Kejadian ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menemui pimpinan Direktorat Jendral Bea Cukai Kementerian Keuangan di Kantor Bea cukai Soekarno Hatta pada Sabtu malam, 27 April 2024 untuk merespons keriuhan tiga kasus ini. Ia menginstruksikan Bea Cukai untuk proaktif memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kebijakan-kebijakan dari berbagai kementerian dan lembaga yang harus dilaksanakan oleh Bea cukai sesuai mandat Undang-undang. Ia mengatakan bahwa Bea Cukai adalah trade facilitator (fasilitator perdagangan), Industrial assistance (mendukung industri dalam negeri), community protector (menjaga masyarakat) dan revenue collector (menghimpun pendapatan dari bea masuk atau pajak). Keempat tugas ini dimandatkan dalam Undang-Undang.
Jika kita telaah dari tugas yang dimandatkan oleh Undang-undang untuk Bea Cukai maka kita dapat simpulkan bahwa Bea Cukai posisinya sama dengan pajak yakni sama-sama menjadi sumber pemasukan APBN. Hal ini wajar dalam sistem ekonomi kapitalis. Sistem kapitalis yang berdiri atas dasar materi (untung/rugi). Sehingga tak heran bea cukai pun menjadi lahan bisnis pengusaha terhadap rakyatnya. Istilah yang sering kita dengar untuk yang bekerja di bea cukai merupakan “lahan Basah”. Namun dengan viralnya kasus yang terjadi saat ini bea cukai pun disebut warganet dengan sebutan “tukang palak berseragam” atau “pemalak legal”.
Bea Cukai dalam Islam
Sistem Islam yang sempurna dan paripurna yang berasal dari sang Khaliq telah menetapkan segala aturan di semua lini kehidupan tak terkecuali dalam hal sistem ekonomi. Dalam sistem ekonomi Islam bea cukai bukan sumber pemasukan dalam APBN. Dalam sistem ekonomi silam jalur pemasukan kas negara bisa dari zakat, ghanimah, fai, kharaj, usyr, jizyah, khumus, rikaz serta tambang.
Cukai (maks) adalah harta yang diambil dari komoditi yang melewati perbatasan negara, komoditi tersebut keluar masuk melewati perbatasan tersebut. Nah, inilah yang kita sebut perdagangan luar negeri (perdagangan internasional). Islam memiliki aturan yang rinci untuk hal ini. Dalam sistem perdagangan luar negeri ini Islam tidak melihat komoditinya tapi melihat pelakunya. Bagi sesama pedagang muslim dan ahlul dzimmah (orang kafir yang tinggal di Khilafah dan taat terhadap aturannya) hukumnya haram memungut cukai untuk komoditi mereka baik komoditi tersebut masuk ke wilayah khilafah maupun keluar dari khilafah dengan syarat komoditi tersebut tidak digunakan untuk melawan kaum muslim. Karena dalam Islam terdapat dua wilayah yakni dar Islam dan dar kufur maka komoditi tadi keluar masuk dari dar Islam (khilafah) ke dar kufur. Dar kufur ini adalah yang secara de jure (secara hukum) memerangi kaum muslim bukan dar kufur secara de facto (secara fakta) sebagaimana 15r431 sehingga dengan dar kufur ini haram untuk menjalin hubungan perdagangan dengannya.
Selanjutnya, jika pelaku bisnisnya kafir muwahid yang mana mereka memiliki perjanjian dengan khilafah maka cukai yang dikenakan pada mereka sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati. Sedangkan untuk kafir harbi maka diperbolehkan untuk memungut cukai namun jumlahnya disesuaikan berdasarkan pungutan negaranya kepada pedagang muslim. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Mujliz lahiq bin Humaid yang mengatakan “Mereka bertanya kepada Umar ra., “Bagaimana kita harus memungut dari warga negara kufur jika memasuki (wilayah) kita? Umar ra menjawab, ‘Bagaimana mereka memungut dari kalian jika kalian memasuki (wilayah) mereka?’, mereka menjawab, ‘mereka (kaum kufur) memungut tarif bea masuk sebesar 1/10.’ Umar ra berkata, kalau begitu, sebesar itu pula kalian mengambil dari mereka,’(Ibnu Qudamah di dalam kitab Al-Mughni)
Hal ini hanya dapat terwujud dengan adanya khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah yang menjadi perisai bagi umat dalam menjalankan syariat Islam yang telah ditetapkan sang Khaliq sehingga hidup menjadi sejahtera dan kita semua mendapatkan keberkahan dari langit dan bumi.
Penulis : Ria Nurvika Ginting, SH, MH
Jumat, 17 Mei 2024
Kelaparan, Sebuah Keniscayaan dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme
Tinta Media - Organisasi Pangan Dunia atau FAO yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan bahwa 59 negara atau wilayah masih banyak yang mengalami kelaparan akut. Jumlah penduduk dunia yang menghadapi kerawanan pangan akut terus melonjak menjadi sekitar 282 juta orang pada 2023. Angka ini menunjukkan peningkatan 24 juta orang dari tahun lalu. (Antara, 25/4/2024)
Penyebab terjadinya krisis kelaparan yang melanda dunia tidak lain dikarenakan penerapan sistem kapitalisme global. Sebab, penerapan sistem saat ini mengakibatkan sebagian besar kekayaan alam atau sumber daya alam yang ada di setiap negara hanya dikuasai oleh segelintir orang saja tanpa memikirkan manusia yang lain. Padahal, sumber daya alam merupakan kepemilikan umum atau publik yang hasil dari pengelolaannya dapat dinikmati secara umum, tidak hanya untuk individu saja atau pemilik modal.
Konsep dari sistem tersebut mengakibatkan masyarakat sulit mengakses kebutuhan pokok berupa pangan. Kalaupun diberi akses, masyarakat harus membayar dengan harga mahal, sebab pengelolaan sumber daya alam dilakukan oleh pihak swasta atau pemilik modal yang meniscayakan kapitalisasi berorientasi pada untung atau bisnis.
Namun, faktanya pemerintah terus melibatkan korporasi dalam produksi dan distribusi pangan. Korporasi memiliki peran besar dalam mengendalikan pangan, mulai dari produksi hingga distribusi yang sering kali melakukan penimbunan bahan pokok dan lain-lain.
Karenanya, kedaulatan pangan adalah hal yang mustahil direalisasikan jika masih mempertahankan sistem kapitalisme. Ini diperparah dengan keberadaan negara yang hanya berposisi sebagai regulator saja. Negara dalam sistem kapitalisme berlepas tangan atas tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat, termasuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan.
Dengan demikian, selama sistem kapitalisme masih diterapkan di negeri ini, maka tidak akan ada kesejahteraan yang dialami oleh rakyat. Padahal, PBB pada tahun 2015 menargetkan bahwa kelaparan dunia berakhir pada 2030.
Awalnya, target tersebut tampak sangat mungkin untuk dicapai. Namun, sekarang laporan terbaru ter-indeks ke laporan global yang dikeluarkan Weld Hanger Life and Concern World Wide. Ini mengindikasikan bahwa perang melawan kelaparan sudah sangat keluar jalur. Hal ini berdasarkan data jumlah orang yang tidak mendapatkan nutrisi layak di dunia pada 2020 yang mencapai 2,4 miliar orang atau hampir sepertiga populasi dunia.
Sistem ekonomi kapitalisme yang hanya berpihak pada segelintir orang telah menjadikan sebagian besar penduduk dunia jatuh dalam jurang kemiskinan. Pasalnya, sistem ini telah melibatkan pihak swasta dalam mengelola kebutuhan strategis rakyat, baik kebutuhan pangan, layanan pendidikan, hingga kesehatan. Semuanya legal dijadikan sebagai objek komersialisasi oleh para pemilik modal. Maka, tak heran jika hanya untuk mendapatkan dan mengakses kebutuhan tersebut, rakyat harus membayar mahal atas dasar hitung-hitungan bisnis para kapitalis.
Mirisnya, sistem ekonomi kapitalisme juga telah menjadikan distribusi pangan berada di bawah kendali para kapitalis. Alhasil, proses distribusi pangan menemui beragam kendala, seperti tidak sampainya bahan makanan ke tempat-tempat yang sudah dijangkau. Kalaupun sampai, pasti dengan harga yang mahal akibat rantai distribusi yang panjang.
Selain itu, banyak tengkulak nakal yang sengaja menimbun bahan pangan agar untung besar. Bahan tersebut akan dikeluarkan ketika harga pangan meningkat.
Sejatinya, permasalahan kelaparan ini tak akan pernah usai selama sistem kapitalisme masih diterapkan di negeri ini. Umat membutuhkan sistem yang mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di dunia ini, khususnya masalah kelaparan, yakni dengan menerapkan aturan Islam. Sebab, Islam memberi solusi tuntas pencegahan serta penanganan krisis pangan dan kelaparan. Sabda Rasulullah saw.
“Imam atau khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” Hadits Riwayat Muslim dan Ahmad
Di dalam negeri, politik pangan Islam adalah mekanisme pengurusan hajat pangan seluruh individu rakyat. Negara akan memenuhi kebutuhan pokok tiap individu rakyat, baik berupa pangan, pakaian, ataupun papan.
Mekanismenya adalah dengan memerintahkan para laki-laki untuk bekerja dan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi mereka.
Untuk mereka yang tidak mampu bekerja karena sakit, cacat, ataupun yang lainnya, maka Islam telah menetapkan bahwa nafkah mereka dijamin kerabatnya. Akan tetapi, jika kerabatnya juga tidak mampu, maka negara Khilafah yang akan menanggungnya.
Dalam sistem ekonomi Islam, masalah produksi, baik primer atau pengolahan, distribusi, dan konsumen akan terselesaikan. Dalam hal distribusi pangan, negara akan memutus rantai panjang distribusi sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Yang nakal akan dikenai sanksi. Sarana distribusi yang murah akan disediakan.
Dengan demikian, hasil pertanian akan merata ke seluruh lapisan masyarakat. Negara mampu memenuhi semua jaminan kebutuhan pokok rakyat tanpa kekurangan sedikit pun. Hal tersebut bisa terjadi karena di dalam Islam sumber daya alam termasuk dalam harta kepemilikan umum yang pengelolaannya dilakukan oleh negara. Hasilnya dikembalikan sepenuhnya kepada seluruh rakyat dalam bentuk berbagai pelayanan publik sehingga semua fasilitas dan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan bisa didapatkan oleh seluruh rakyat secara gratis.
Inilah mekanisme Islam untuk mencegah terjadinya krisis pangan ataupun kelaparan dalam negeri. Semua mekanisme ini hanya bisa diterapkan ketika sistem Islam telah diterapkan di negeri ini, yakni di bawah institusi Daulah Khilafah Islamiyah. Dengan demikian, kesejahteraan akan dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Wallahu a’lam bis shawwab.
Oleh: Umu Khabibah (Generasi Peduli Umat)
Miras Legal dan Ilegal, Adakah?
Tinta Media - Sebuah gudang di Jalan Kapten Sumarsono, kecamatan Medan Helvetia digerebek oleh petugas gabungan pada hari Kamis, 25 April 2024 lalu. Gudang tersebut ternyata digunakan untuk tempat pembuatan minuman keras (miras) oplosan. Penggerebekan ini pun membuat kehebohan para warga sekitar dan berbondong-bondong datang ke lokasi. Warga sekitar juga tidak pernah menaruh curiga karena gudang itu dianggap kosong. (Tribun-Medan.com, 25/04/2024)
Penggerebekan kembali dilakukan oleh aparat karena yang diproduksi adalah miras oplosan. Hal ini menjadi perhatian oleh negara karena banyak korban yang jatuh akibat minuman oplosan. Sehingga miras oplosan mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
Miras oplosan dikatakan jauh berbeda dengan minuman beralkohol resmi yang dapat dibeli di hotel atau supermarket. Hal ini disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana dalam perbincangan bisnis yang diadakan di Restoran Salero Jumbo pada Rabu, 21 September 2021 lalu. Hal ini disampaikannya karena dia merasa negara mencampuradukkan masalah ekonomi dengan masalah sosial ketika pemerintah membahas mengenai pelarangan minuman beralkohol (minol).
Beginilah gambaran negeri yang menerapkan sistem kapitalis-liberal yang mana berdiri atas dasar pemisahan agama dari kehidupan dan segala sesuatu dinilai dengan materi (keuntungan) sehingga semua lini kehidupan dijadikan lahan bisnis tanpa melihat apakah hal tersebut halal/haram. Dalam sistem kapitalis setiap barang yang memiliki permintaan dipasar dianggap barang ekonomis. Sehingga, produksi, distribusi/peredaran dan konsumsinya bebas dalam sistem kapitalis. Negara berperan sebagai regulator sehingga yang beredar adalah miras/minol yang legal menurut undang-undang. Sedangkan miras oplosan dianggap ilegal karena dapat memakan korban.
Baik miras oplosan maupun miras yang katanya legal yang dijual di hotel dan supermarket sama saja. sama-sama memberikan efek memabukkan yang pada akhirnya menimbulkan kejahatan. Kasus pembunuhan satu keluarga yang dilakukan remaja pada bulan Februari yang lalu juga dimulai dengan pesta miras. Tidak hanya membunuh. Remaja tersebut pun memperkosa anak perempuan dan ibunya. Ini hanya secuil kasus dampak dari miras.
Miras Induk Kejahatan
Miras tidak hanya merusak pribadi yang meminumnya tapi juga menyebabkan kerusakan terhadap orang lain. Peminum miras yang rusak akalnya berpotensi melakukan berbagai kejahatan, mencuri, memperkosa bahkan membunuh. Sehingga Baginda Rasulullah mengatakan Miras/khamr merupakan ummul khaba’its (induk dari segala kejahatan).
Islam dengan jelas dan tegas mengharamkan segala macam miras. Apakah miras oplosan atau bukan. Tidak ada miras legal dan ilegal. Islam juga melarang total segala yang berkaitan dengan miras (khamr) mulai dari produksi (pabrik-pabrik miras), distributor, penjual hingga konsumen (peminumnya). Karena dalam sistem ekonomi Islam khamr bukan barang ekonomis. khamr sesuatu yang tegas hukumnya haram.
Islam telah menetapkan sanksi bagi peminum khamr dengan cambukan 40 kali atau 80 kali. Ali bin Abi Thalib ra. Menuturkan, "Rasulullah SAW mencambuk (peminum khamr) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunnah. Ini adalah yang lebih aku sukai” (HR Muslim).
Selain peminum maka sanksinya dikenakan sanksi ta’zir yang diserahkan
kepada khalifah sesuai dengan ketentuan syariah. Tentu saja seharusnya produsen
dan yang menjadi distributor/pengedarnya dikenakan sanksi yang lebih berat
karena mereka menyebabkan kerusakan yang luas ditengah-tengah masyarakat. Hal
ini hanya dapat terlaksana dan miras/khamr dapat dibabat habis hingga akar
dengan diterapkannya syariah Islam secara kaffah dalam institusi Daulah
Khilafah Islamiyah yang dipimpin oleh kepala negara yakni Khalifah.
Oleh: Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H. (Sahabat Tinta Media)